Selasa, 14 Juli 2009

Ruang Perawatan Orang Sakit

Ruang Perawatan Orang Sakit Cetak E-mail

Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammāsambuddhassa


Pada suatu ketika Yang Terberkahi berdiam di Vesali di Hutan Besar di dalam Dhammasala yang beratap runcing. Pada saat malam itu, Yang Terberkahi keluar dari tempat penyepian-Nya dan pergi menuju ke ruangan perawatan orang sakit. Setelah itu duduk di tempat duduk yang telah disediakan dan kemudian memberikan khotbah kepada para bhikkhu demikian:


”Para bhikkhu, seorang bhikkhu sepatutnya menggunakan setiap waktunya dengan memiliki kesadaran penuh dan pemahaman yang jernih. Inilah instruksi Kami kepada kalian.”

”Dan bagaimana, para bhikkhu, seorang bhikkhu dikatakan sadar sepenuhnya? Di sini, para bhikkhu, seorang bhikkhu berdiam dan merenungkan tubuh sebagai tubuh, dengan tanpa malas, dengan pemahaman jernih, dengan kesadaran, menyingkirkan keserakahan dan kesenangan dalam hal keduniawian. Ia berdiam dan merenungkan perasaan sebagai perasaan… pikiran sebagai pikiran… perwujudan sebagai perwujudan… dengan tekun, dengan pemahaman jernih, dengan kesadaran, menyingkirkan keserakahan dan kesenangan dalam hal keduniawian. Dengan jalan demikian seorang bhikkhu dikatakan sadar sepenuhnya.”

”Dan bagaimana, para bhikkhu, seorang bhikkhu dikatakan berlatih dengan pandangan yang jernih? Di sini, para bhikkhu, seorang bhikkhu yang bertindak dengan pandangan jernih ketika ia pergi dan kembali, ketika melihat ke depan atau ke samping, ketika mengayunkan lengan, ketika mengenakan jubah dan membawa saïghati dan mangkuk makanannya (patta), ketika makan, minum, mengunyah makanannya dan mengecap, ketika buang air besar dan kecil, ketika berjalan, berdiri, duduk, berbaring, bangun, berbicara dan berdiam diri. Dengan jalan demikian seorang bhikkhu dikatakan berlatih dengan pandangan jernih.”

”Seorang bhikkhu sepatutnya menggunakan setiap waktunya dengan memiliki kesadaran penuh dan pemahaman yang jernih. Inilah instruksi kami kepada kalian.”

”Para bhikkhu, pada saat seorang bhikkhu berdiam demikian, dengan kesadaran penuh dan dengan pandangan jernih, tekun, rajin, dan teguh, jika di dalam dirinya muncul perasaan yang menyenangkan, ia memahaminya; pada saat ini muncul perasaan yang menyenangkan dalam diri saya. Perasaan itu muncul karena ada ketergantungan, bukan tanpa ketergantungan (tiba-tiba). Tergantung pada apa? Tergantung pada tubuh ini juga. Tetapi tubuh ini tidaklah kekal, terkondisi, timbul dari saling ketergantungan. Jadi ketika perasaan menyenangkan yang timbul tergantung pada tubuh yang tidak kekal, terkondisi, yang timbul dari saling ketergantungan ini, bagaimana mungkin itu dapat dikatakan kekal? Ia berdiam dengan merenungkan ketidakkekalan dalam tubuh dan perasaan yang menyenangkan, ia merenungkan dalam ketiadaan, merenungkan semua akan memudar, merenungkan akan berakhir, merenungkan untuk melepaskan. Demikianlah seharusnya ia berdiam, maka kecenderungan pengaruh yang sangat kuat pada tubuh dan suatu perasaan yang menyenangkan akan ditinggalkan olehnya.”

”Para bhikkhu, pada saat seorang bhikkhu berdiam demikian, dengan kesadaran penuh dan pandangan jernih, tekun, rajin, dan teguh, jika di dalam dirinya muncul perasaan yang tidak menyenangkan, ia mamahaminya; pada saat ini muncul perasaan yang tidak menyenangkan dalam diri saya. Perasaan itu muncul karena ada ketergantungan, bukan tanpa ketergantungan (tiba-tiba). Tergantung pada apa? Tergantung tepat pada tubuh ini juga. Tetapi tubuh ini tidaklah kekal, terkondisi, timbul dari saling ketergantungan. Jadi ketika perasaan tidak menyenangkan yang timbul tergantung pada tubuh yang tidak kekal, terkondisi, timbul dari saling ketergantungan ini, bagaimana mungkin itu dapat dikatakan kekal? Ia berdiam dengan merenungkan ketidakkekalan dalam tubuh dan perasaan yang tidak menyenangkan, ia merenungkan dalam ketiadaan, merenungkan semua akan memudar, merenungkan akan berakhir, merenungkan untuk melepaskan. Demikianlah seharusnya ia berdiam, maka kecenderungan pengaruh yang sangat kuat pada tubuh dan perasaan yang tidak menyenangkan akan ditinggalkan olehnya.”

”Para bhikkhu, pada saat seorang bhikkhu berdiam demikian, dengan kesadaran penuh dan pandangan jernih, tekun, rajin, dan teguh, jika di dalam dirinya muncul perasaan yang bukan menyenangkan maupun bukan tidak menyenangkan, ia memahaminya; pada saat ini muncul perasaan yang bukan menyenangkan maupun bukan tidak menyenangkan dalam diri saya. Perasaan itu muncul karena ada ketergantungan, bukan tanpa ketergantungan (tiba-tiba). Tergantung pada apa? Tergantung pada tubuh juga. Tetapi tubuh ini tidaklah kekal, terkondisi, timbul dari saling ketergantungan ini, bagaimana mungkin itu dapat dikatakan kekal? Ia berdiam dengan merenungkan ketidakkekalan dalam tubuh dan dalam perasaan yang bukan menyenangkan maupun bukan tidak menyenangkan, ia merenungkan dalam ketiadaan, merenungkan semua akan memudar, akan berakhir, merenungkan untuk melepaskan. Demikianlah seharusnya ia berdiam, maka kecenderungan pengaruh yang sangat kuat pada tubuh dan perasaan yang bukan menyenangkan maupun bukan tidak menyenangkan akan ditinggalkan olehnya.”

”Jika ia merasakan suatu perasaan yang menyenangkan, ia memahami; ini tidaklah kekal, ia memahami; ini tidaklah patut untuk digenggam, ia memahami; ini tidaklah patut untuk disenangi. Jika ia merasakan suatu perasaan yang tidak menyenangkan, ia memahami; ini tidaklah kekal, ia memahami; ini tidaklah patut untuk digenggam, ia memahami; ini tidaklah patut untuk dibenci. Jika ia merasakan suatu perasaan yang bukan menyenangkan maupun bukan tidak menyenangkan, ia memahami; ini tidaklah kekal, ia memahami; ini tidaklah patut untuk digenggam, ia memahami; ini tidaklah patut untuk disenangi dan tidak patut untuk dibenci.”

”Jika ia merasakan suatu perasaan yang menyenangkan, ia merasa sebagai orang yang tidak terbelenggu oleh perasaan tersebut; jika ia merasakan suatu perasaan yang tidak menyenangkan, ia merasa sebagai orang yang tidak terbelenggu oleh perasaan tersebut; jika ia merasakan suatu perasaan yang bukan menyenangkan maupun bukan tidak menyenangkan, ia merasa sebagai orang yang tidak terbelenggu oleh perasaan tersebut.”

”Ketika ia merasakan suatu perasaan menyakitkan, membahayakan tubuhnya, ia sadar; saya memiliki perasaaan sakit yang membahayakan tubuh saya. Ketika ia merasakan suatu perasaan menyakitkan, membahayakan hidupnya, ia sadar; saya memiliki suatu perasaan yang menyakitkan, membahayakan hidup saya. Ia memahami; setelah hancurnya tubuh ini, ketika kehidupan ini berakhir, semua perasaan yang dimanjakan ini, akan harus mati pula, maka akan timbul ketenangan di sini.”

”Seperti hal juga, para bhikkhu, sebuah lampu minyak dapat menyala tergantung pada minyak dan sumbu, dan jika minyak dan sumbunya habis, maka nyala api akan padam. Demikian pula, para bhikkhu, ketika seorang bhikkhu menyadari; setelah hancurnya tubuh ini, ketika kehidupan ini berakhir, semua perasaan yang dimanjakan ini, akan harus mati pula, maka akan timbul ketenangan di sini.”

Sumber: Kindred Sayings 4, 142-143 (Vedana Saṁyutta, Saḷāyatana Vagga, Saṁyutta Nikāya)

Oleh: Bhikkhu Ciradhammo

(22 Maret 2009)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar