Selasa, 14 Juli 2009

Tirokudda Sutta

Tirokudda Sutta Cetak E-mail

Namo tassa Bhagavato Arahato Sammāsambuddhassa

Tirokuḍesu tiṭṭhanti, Sandhisiṅghāṭakesu ca

Dvārabāhāsu tiṭṭhanti, Āgantvāna sakaṁ gharaṁ

Para mendiang datang ke rumah mereka masing-masing, berdiri di luar dinding rumah,

di perempatan jalan, di pertigaan jalan dan di dekat daun pintu.

(Tirokuḍḍa Sutta)

Pada suatu hari, Raja Bimbisara berdana makanan kepada Sang Buddha dan siswa-siswa Beliau. Tapi setelah berdana makan kepada Sang Buddha dan siswa-siswa Beliau, raja lupa melakukan pelimpahan jasa. Raja lupa melimpahkan jasa kebajikannya kepada sanak saudaranya yang terlahir di alam peta, menjadi mahkluk peta selama 92 kalpa. Pada waktu itu raja sibuk memikirkan ”tempat” untuk Sang Buddha dan siswa-siswa-Nya, tempat untuk bervassa.

Malam harinya, Raja Bimbisara tidak bisa tidur, beliau mendengar suara-suara jeritan yang mengerikan, teriakan-teriakan putus asa yang mengerikan. Sepanjang malam raja tidak bisa tidur hingga pagi hari.

Pagi harinya, karena tidak bisa tidur semalam suntuk, maka wajah raja menjadi pucat pasi, beliau terganggu oleh jeritan-jeritan putus asa yang mengerikan, suara-suara jeritan dari alam peta.

Raja pergi menemui Sang Buddha, raja menceritakan pengalamannya mendengarkan suara-suara jeritan putus asa dan bertanya kepada Sang Buddha: ”Bhante, apakah yang akan terjadi pada diri saya dan ciri-ciri apakah itu, yang mengganggu saya sepanjang malam? Apakah ini suatu pertanda yang buruk bagi saya sebagai raja, Bhante?”

Sang Buddha dengan tenang memberi jawaban kepada raja: ”Raja yang agung, tidak akan terjadi apapun pada dirimu raja! Yang terjadi sebenarnya adalah: sanak saudaramu yang terlahir di alam peta menjadi mahkluk peta, selama sembilan puluh dua kalpa, mereka telah lama menunggu dan menurut kamma mereka, sudah waktunya mereka mendapatkan pelimpahan jasa.”

”Kalau demikian halnya, apakah mereka bisa mendapatkan pelimpahan jasa hari ini?” Raja bertanya kepada Sang Buddha. Sang Buddha memberikan jawaban bahwa: ”Hal itu bisa dilakukan hari ini.”

Raja Bimbisara menjadi semangat dan mengundang Sang Buddha serta bhikkhu Saïgha untuk menerima dana makan di istana raja, Sang Buddha menyetujui dengan berdiam diri.

Raja kembali ke istana, memberi instruksi kepada pelayan istana untuk mempersiapkan dana makanan yang besar dan meriah kepada Sang Buddha dan siswa-siswa Beliau. Beraneka makanan dan minuman dipersiapkan oleh raja, juga kain jubah serta tempat tinggal untuk murid-murid-Nya. Setelah semuanya siap, raja mempersilahkan Sang Buddha dan siswa-siswa-Nya memasuki ruang istana.

Ketika sampai di ruang istana raja, Sang Buddha dengan menggunakan kekuatan batin-Nya, mampu membuka tabir sehingga raja bisa melihat mahkluk peta yang jumlahnya ribuan, mereka berdiri berderet-deret dengan tubuh kurus kering tinggal kulit pembalut tulang, urat-urat nadinya menonjol keluar, rambut kusut seperti ijuk – sungguh suatu pemandangan yang mengerikan. Raja merasa kasihan dengan mahkluk-mahkluk peta tersebut.

Oleh karena itu, raja mulai melayani Sang Buddha dengan mempersembahkan air, dengan pikeran: ”Semoga jasa dari mempersembahkan air ini, jasanya melimpah pada sanak saudaraku yang terlahir di alam peta. Ketika air itu disentuh dan diterima oleh Sang Buddha, saat itu juga muncul keajaiban: di alam peta muncul kolam-kolam air yang dalam, persegi empat, airnya jernih, dan di sana juga tumbuh bunga teratai. Raja bisa melihat semua kejadian di alam peta – sekarang mahkluk peta bisa minum sepuasnya dan mandi sepuasnya. Tubuh mahkluk peta sekarang menjadi segar.

Raja menjadi semakin bersemangat, raja kemudian mempersembahkan bubur beras kepada Sang Buddha, ketika bubur beras itu disentuh dan diterima oleh Sang Buddha, maka di alam peta seketika muncul makanan-makanan surgawi yang lezat-lezat. Sehingga tubuh mahkluk peta berubah menjadi segar, sehat dan padat, berisi dan bercahaya. Mahkluk peta telah berubah menjadi mahkluk surgawi, oleh karena itu, raja semakin bersemangat mempersembahkan kain jubah dan tempat tinggal.

Sekarang mahkluk peta berubah menjadi mahkluk dewa dan dewi dengan istana yang megah. Raja merasa puas dengan kemuliaan yang telah dialami oleh sanak saudaranya menjadi dewa-dewi yang cemerlang.

Sabbe sattā bhavantu sukhitattā.

Oleh: Bhikkhu Khemaviro (05 Juli 2009)

Dua Macam Kebahagiaan

Dua Macam Kebahagiaan Cetak E-mail

Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammāsambuddhassa

Ada dua macam kebahagiaan, O para bhikkhu. Kebahagiaan jasmaniah dan

kebahagiaan batiniah - kebahagiaan batiniah adalah yang lebih tinggi.

Gradual Sayings (Aṅguttara Nikāya) I, 74

Dalam Dhamma ajaran Sang Buddha, dikenal adanya dua macam kebahagiaan. Dua macam kebahagiaan ini diinginkan oleh setiap orang. Tidak ada satu orang pun yang tidak menginginkannya. Setiap dari kita berusaha mencari dan mendapatkan dua macam kebahagiaan ini.

”Apakah kebahagiaan yang pertama itu?”

Kebahagiaan yang pertama adalah kebahagiaan materi. Di mana kita ketahui, materi memang dapat memberikan suka cita, kegembiraan, dan kebahagiaan. Tetapi, jika kita menganggap hanya materi yang merupakan sebab dari kebahagiaan, bukan yang lain, maka hal ini dapat menyebabkan materi menjadi hal yang utama bagi kita sebagai faktor penentu kebahagiaan.

Karena tolak ukurnya demikian, mungkin saja kita akan merasa begitu kecil, di tengah kemajuan dunia saat ini. Seandainya kita tidak bisa mengikuti kemajuan dunia modern saat ini yang dipenuhi oleh gemerlap materi, maka tidak dapat dipungkiri, bila kita akan selalu merasa kurang dan kurang karena memang dunia semakin berkembang, konsumerisme semakin merajalela, dan semuanya dipenuhi dengan kemewahan.

Televisi juga turut memicu hal ini. Kita bisa lihat berbagai iklan dan sinetron glamor yang bisa ditonton siapa saja, baik di kota maupun di desa. Sehingga sangat mungkin, jika seseorang yang awalnya ’damai’ dalam kesederhanaan, menjadi resah karena tidak memiliki benda mewah.

Dari sana, kita dapat bertanya, apakah benar, untuk menjadi bahagia harus memiliki benda-benda mewah? Ataukah malah sebaliknya? Menjadi penyebab ketidakpuasan.

Penghasilan penduduk di negara maju tentu lebih baik dibandingkan dengan negara berkembang, tetapi apakah di sana tidak ada orang yang depresi? Tidak juga, bahkan krisis ekonomi di Indonesia tidak selamanya membuat kita melipat wajah.

”Dan, apakah kebahagiaan yang kedua itu?”

Kebahagiaan jenis kedua adalah kebahagiaan batiniah. Kebahagiaan ini lebih luhur dari yang pertama. Dalam Dhammapada 290, Sang Buddha berkata, ”Apabila dengan melepas kebahagiaan yang lebih kecil, orang dapat memperoleh kebahagiaan yang lebih besar, maka hendaknya orang bijaksana melepaskan kebahagiaan yang kecil itu, guna memperoleh kebahagiaan yang lebih besar.”

Sang Buddha pun memuji kebahagiaan batiniah ini dengan mengatakan sebagai kebahagiaan yang tidak bermata kail atau Nirāmisa. Sedangkan kebahagiaan yang pertama disebut sebagai Sāmisa atau kebahagiaan yang bermata kail. Kebahagiaan Sāmisa memang memikat di satu sisi, tetapi, di sisi lain, jika tidak hati-hati, dapat membawa penderitaan. Karena kebahagiaan tersebut akan berlalu dan tidak bertahan selamanya.

Dalam Aṅguttara Nikāya, Sang Buddha berkata, ”Seperti halnya aliran sungai di gunung, yang datang dari jauh, mengalir dengan cepat, membawa banyak sampah bersamanya, tidak akan diam sesaat pun, sedetik pun, sekejap pun, dan akan terus bergerak, berputar dan mengalir maju; demikian pula, para brahmana, kehidupan manusia ini bagaikan aliran sungai di gunung. Kehidupan ini pendek ... karena tak seorang pun yang telah terlahir dapat lolos dari kematian.”

Bayangkan suatu saat kita memenangi sebuah perlombaan besar yang memang kita impikan, apakah kita senang? Pasti, mungkin kita akan berteriak girang dan ingin semua orang tahu, tapi yakinlah itu tidak akan terus terjadi. Mungkin satu atau dua minggu kemudian, perasaan kita akan kembali seperti sedia kala. Masa euforia akhirnya berakhir juga.

Nikmati tiap detiknya...

Hampir setiap orang berlomba untuk menyiapkan masa depan sebaik-baiknya, bahkan di kota Jakarta ini matahari seringkali ’kalah cepat’, mungkin kita salah satu yang sering berlari sebelum matahari muncul dan kembali ke rumah saat matahari terlelap. ”Suatu saat nanti saya akan bahagia,” itulah yang ada di pikiran kita. Sadarkah bahwa kita seakan-akan tidak hidup di saat ini, tetapi berharap untuk hidup bahagia di masa depan.

”Tak sepatutnya mengenang sesuatu yang telah berlalu; tak sepatutnya berharap pada sesuatu yang akan datang. Sesuatu yang telah berlalu adalah hal yang sudah lampau. Sesuatu yang akan datang adalah hal yang belum tiba.” (Uparipaṇṇāsa, Majjhima Nikāya).

Penutup

Pernah ada sebuah kisah yang menceritakan seseorang yang selama hidupnya merasa akan bahagia jika memiliki A, dan setelah mendapatkannya, ia kembali akan merasa bahagia jika mendapatkan B, begitu seterusnya sampai akhirnya tertulis di batu nisannya, ”Telah meninggal dunia, seorang yang akan berbahagia . . . ”

Uraian di atas adalah sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Sang Buddha bahwa ”Kepuasan adalah harta yang paling berharga.” (Dhammapada syair 204)

Oleh: Bhikkhu Indadhīro

(20 April 2008)


Kisah Mahapajapati Gotami Theri

Kisah Mahapajapati Gotami Theri Cetak E-mail

Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammāsambuddhassa

Apabila seseorang yang tidak melakukan perbuatan keliru dengan tubuh, ucapan, dan pikiran, ketiganya selalu terkendali. Orang seperti itu Aku sebut sebagai brahmana sejati.

(Dhammapada, syair 391)

Mahapajapati Gotami adalah ibu tiri dari Buddha Gotama. Pada saat kematian Ratu Maya, tujuh hari setelah kelahiran Pangeran Siddhattha, Mahapajapati Gotami menjadi permaisuri dari Raja Suddhodana. Pada waktu itu, putra kandungnya sendiri, Nanda, baru berusia lima hari. Ia rela anak kandungnya sendiri diberi makan oleh pembantu, dan dirinya sendiri memberi makan Pangeran Siddhattha, calon Buddha. Maka, Mahapajapati Gotami telah melakukan pengorbanan besar bagi Pangeran Siddhattha.

Ketika Pangeran Siddhattha berkunjung ke Kapilavatthu setelah mencapai ke-Buddha-an, Mahapajapati Gotami datang menemui Sang Buddha dan mohon agar kaum wanita juga diizinkan untuk memasuki pasamuan bhikkhuni. Tetapi Sang Buddha menolak memberi izin. Kemudian, Raja Suddhodana meninggal dunia setelah mencapai tingkat kesucian arahat.

Ketika Sang Buddha sedang berjalan di hutan Mahavana dekat Vesali, Mahapajapati, disertai oleh lima ratus wanita, berjalan dari Kapilavatthu menuju Vesali. Mereka telah mencukur rambut mereka dan telah menggunakan jubah yang sudah dicelup. Di sana, untuk kedua kalinya, Mahapajapati memohon kepada Sang Buddha untuk menerima kaum wanita ke dalam pasamuan bhikkhuni. Y.A. Ananda juga mendukung kehendak para wanita tersebut.

Akhirnya Sang Buddha memenuhi kehendak itu dengan syarat bahwa Mahapajapati hendaknya mematuhi delapan kewajiban khusus (garudhamma). Mahapajapati bersedia mematuhi garudhamma tersebut seperti yang diharapkan Sang Buddha. Kemudian Beliau menerima kaum wanita ke dalam pasamuan bhikkhuni.

Mahapajapati adalah wanita yang pertama kali diterima dalam pasamuan bhikkhuni. Wanita yang lain diterima ke dalam pasamuan setelah Mahapajapati oleh para bhikkhu sesuai peraturan yang telah diajarkan Sang Buddha.

Setelah berlangsungnya waktu, terpikir oleh beberapa bhikkhuni bahwa Mahapajapati Gotami telah tidak sah diterima sebagai seorang bhikkhuni karena ia tidak mempunyai seorang pembimbing. Oleh karena itu Mahapajapati bukanlah seorang bhikkhuni yang sesungguhnya. Berdasarkan pemikiran yang demikian, mereka berhenti melakukan upacara uposatha dan upacara vassa (pavarana) bersama Mahapajapati Gotami.

Mereka pergi menemui Sang Buddha, dan mengajukan permasalahan bahwa Mahapajapati Gotami telah tidak dengan sah diterima dalam pasamuan bhikkhuni karena ia tidak mempunyai pembimbing.

Kepada mereka, Sang Buddha menjawab, ”Mengapa kalian berkata demikian? Saya sendiri memberikan delapan kewajiban khusus (garudhamma) kepada Mahapajapati, dan ia telah memahami serta melakukan garudhamma seperti yang Kuharapkan. Saya sendiri pembimbingnya dan adalah salah jika kalian mengatakan bahwa ia tidak mempunyai seorang pembimbing. Kalian hendaknya tidak meragukan apapun yang dilakukan oleh seorang arahat.”

Kemudian Sang Buddha membabarkan Dhammapada syair 391 berikut:

”Apabila seseorang yang tidak melakukan perbuatan keliru dengan tubuh, ucapan, dan pikiran, ketiganya selalu terkendali. Orang seperti itu Aku sebut sebagai brahmana sejati.”

Sumber: Dhammapada Aṭṭhakathā, syair 391

Oleh: Bhikkhu Khemanando

(27 April 2008)


Kekerasan dalam Rumah Tangga dan Tanggung Jawab Orangtua

Kekerasan dalam Rumah Tangga dan Tanggung Jawab Orangtua Cetak E-mail

Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammāsambuddhassa

Baik berita di televisi maupun surat kabar, makin banyak tersiar adanya kekerasan dalam rumah tangga. Pelaku kekerasan dalam rumah tangga biasanya dilakukan oleh sang suami, namun ada pula yang didalangi oleh sang istri. Bagaimanapun peristiwa kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi, korban sesungguhnya adalah anak-anak mereka sendiri. Kehidupan anak-anak mereka di kemudian hari akan menjadi serba ketakutan dan tumbuh dengan pikiran yang diracuni dengan kekerasan.

Bagaimana nasib anak-anak yang hidupnya di tengah-tengah kekerasan keluarga? Batin mereka selalu diliputi ketakutan dan kekhawatiran. Contoh kekerasan yang disodorkan orangtua, secara tidak logis mendoktrinasi pikiran bawah sadar anak. Rekaman kekerasan ini nantinya akan menjadi cerminan kehidupan mereka di masa depan, terutama saat mereka berumah tangga dan mendidik anaknya.

Orangtua bertanggung jawab atas kesejahteraan lahir batin anaknya. Jika anak tumbuh menjadi orang yang kuat dan berguna, maka itu adalah hasil usaha orangtua. Sedangkan jika anak tumbuh menjadi orang yang menyusahkan maka orangtua harus bertanggung jawab. Pada masa pertumbuhannya, anak memerlukan kasih sayang, perawatan, dan perhatian orangtua. Tanpa kasih sayang dan bimbingan orangtua, anak akan menjadi cacat secara emosional dan dunia akan menjadi tempat yang tak bersahabat baginya untuk hidup.

Melimpahkan kasih sayang bukan berarti memenuhi segala keinginan anak, baik yang perlu maupun yang tidak masuk akal. Kasih sayang harus diberikan dengan sikap tegas tetapi lembut dalam menghadapi anaknya yang ”ngambek”. Anak tidak hanya memerlukan pemenuhan kebutuhan material, kuncinya pada kebutuhan rohani dan mental. Berdasarkan prioritas perhatian dan kasih sayang pada anak, maka mereka akan tumbuh menjadi orang yang berguna, jauh dari masalah mental dan moral.

Umumnya kekerasan dalam rumah tangga terjadi disebabkan suami dan istri tidak memahami tanggung jawabnya masing-masing dalam keluarga. Bila suami dan istri memahami tanggung jawabnya maka akan tercipta rasa saling pengertian. Kekerasan dalam rumah tangga terpicu oleh kesalahpahaman yang kemudian diwujudkan dalam tindakan. Hal ini menunjukkan kurangnya pengendalian diri. Orang yang dipenuhi kemarahan tidak dapat melihat dengan jelas bagai dibutakan oleh asap. Jika orang memperlihatkan kebencian akan membawa penderitaan bagi diri sendiri. Karena orang yang sering dirasuki kemarahan dan kebencian, ibaratnya sedang mengeluarkan racun dari dalam dirinya dan akan lebih melukai dirinya sendiri daripada orang lain.

Kekerasan dalam rumah tangga dapat diakhiri dengan belajar untuk mengerti peran masing-masing dalam kehidupan berkeluarga dan belajar untuk bersabar terhadap segala sesuatu. Kemarahan atau kebencian akan menuntun seseorang menuju rimba yang tidak memiliki jalan setapak untuk dilalui. Kemarahan atau kebencian tidak hanya mengganggu orang lain melainkan juga melukai dirinya sendiri dan melemahkan jasmani serta mengganggu pikirannya. Kata-kata kasar yang kita lontarkan ibarat anak panah yang dilepaskan dari busurnya tidak akan dapat ditarik kembali walaupun kita persembahkan seribu permohonan maaf untuk itu.

Saat kemarahan membelenggu berarti kita sedang bertempur dengan diri sendiri karena diri sendiri adalah musuh terbesar kita. Semua berakar dari pikiran yang merupakan teman terbaik sekaligus musuh terjahat kita. Oleh karena itu, kita harus mencoba dan terus berlatih membunuh hawa nafsu, kebencian, dan kebodohan yang terpendam dalam pikiran kita dengan menggunakan kesusilaan, pemusatan pikiran serta kebijaksanaan.

Dengan pengendalian hawa nafsu, maka berbagai penderitaan batin seperti dendam, kebencian, serta iri hati akan pupus detik demi detik. Pupusnya penderitaan tersebut akan memberikan kedamaian hidup.

”Barang siapa berbuat jahat terhadap orang baik, orang suci, dan orang yang tidak bersalah, maka kejahatan akan berbalik menimpa orang bodoh itu, bagaikan debu yang dilempar melawan angin.”

(Dhammapada IX:10)

Oleh: Bhikkhu Tejapuñño

(27 Mei 2007)


Relasi Baik untuk Menciptakan Kebahagiaan

Relasi Baik untuk Menciptakan Kebahagiaan Cetak E-mail

Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammāsambuddhassa

Sīladassanasampannaṁ – dhammaṭṭhaṁ saccavādinaṁ

Attano kammakubbānaṁ – taṁ jano kurute piyan’ti

Barangsiapa sempurna dalam sila dan mempunyai pandangan terang, teguh dalam Dhamma, selalu berbicara benar dan memenuhi segala kewajibannya, maka semua orang akan mencintainya.

(Dhammapada 217)

Hari demi hari semestinya kita berusaha terus untuk melihat apa saja yang terkondisi dalam pikiran untuk menjadikan awal perbuatan kita. Untuk menyikapi hal-hal yang dimaksudkan dalam pernyataan tersebut di atas, kita dapat melihat satu kutipan sebagaimana dinyatakan dalam Aṅguttara Nikāya II.ii.9, ’Tinggalkan kejahatan dengan cara melupakan sehingga kekuatannya tidak bertambah, tidak sampai tertinggal/ nempel/ lengket pada pikiran. Kembangkan kebaikan dengan cara mengingat terus sehingga terkondisi ada dalam pikiran dan bertahan semakin lama semakin kuat, dan menjadi sumber kekuatan yang bisamemotivasi diri untuk mengulangi berbuat kebaikan itu lagi.’ (AN II.ii.9)

Berbuat Demi Relasi Bukan Berharap

Memiliki relasi dengan orang lain tentu dapat dipastikan saling mengenal satu sama lain lebih dari cukup dalam banyak hal. Apa yang kira-kira dapat kita lakukan untuk relasi kita ketika ia membutuhkan adalah hal penting yang semestinya kita pikirkan matang-matang.

Tindakan apa yang seharusnya kita perbuat yang tentunya baik bagi orang lain apalagi memang ada relasi dengan kita. Bukan malah berharap apalagi terlalu banyak memikirkan apa yang akan kita peroleh dari orang yang ada relasi dengan kita.

Meskipun tidak usah diharapkan apabila berbuat baik itu dilakukan secara baik dan benar tentu akan mendatangkan hasil yang sesuai. Dalam Siha Sutta, Aṅguttara Nikāya V.34 dikatakan, ’Orang yang suka memberi akan dihormati, akan dipuji, akan memperoleh penghargaan, status sosialnya akan tumbuh berkembang.’ (AN V.34)

Praktik Kemoralan Demi Relasi

Relasi kita dengan siapapun akan terpelihara dengan baik apabila kita memperhatikan sikap dan tingkah laku kita sendiri di hadapan para relasi kita. Kita harus menempuh cara hidup kita sehari-hari dengan baik, benar dan penuh tanggung jawab. Semaksimal mungkin kita berusaha untuk dapat menghindari segala bentuk penganiayaan dan pembunuhan, menahan diri untuk tidak mengambil apapun yang bukan milik sendiri, menjaga jarak yang aman terkait lawan jenis, menata sedemikian rupa kata-kata yang sebatas perlu atau tidak perlu untuk diucapkan kepada pihak lain, dan menolak segala bentuk konsumsi yang tidak sehat alias bikin mabuk.

Pengendalian Diri Demi Relasi

Kalau sudah terlanjur ada bahkan banyak kondisi buruk dalam pikiran, apakah kita tidak mengambil sikap? Jika kita mengambil sikap, sikap apakah yang harus kita tunjukkan?

Pertanyaan ini agak rumit tapi memang harus dijawab sendiri. Sebaliknya, jika timbunan kebaikan sudah ada apalagi banyak dalam pikiran kita, mampukah kita mempertahankan supaya kebaikan itu tidak luntur atau tidak terlupakan untuk dijadikan awal bagi kebaikan lain berikutnya yang harus kita lakukan semaksimal mungkin?

Bagaimana usaha kita agar mampu melakukan pengendalian diri adalah jawaban atas pertanyaan tersebut. Sebab, pengendalian diri akan menjadi penjaga relasi kita dengan orang lain di sekitar kita.

Terasa Beban Demi Relasi

Sadarkah kita bahwa semua yang sudah kita arungi sepanjang hidup kita selama ini adalah terlalu dipenuhi dengan kemelekatan, kebencian/ ketidaksenangan, ketidaktahuan, keirihatian, kesalahpahaman, kecurigaan, dan aneka ragam pandangan salah yang menurut pendapat kita adalah benar. Jika kita tidak sadar, maka itulah yang sebetulnya dapat menimbulkan banyak beban terasa berat dalam pikiran kita, terutama kecenderungan kita terlalu melekat terhadap orang tertentu di sekitar kita hanya semata-mata demi relasi.

Tindakan Tegas Demi Relasi

Kita perlu belajar memahami dengan baik dan benar segala hal yang memenuhi pikiran kita seperti tersebut di atas adalah salah dan harus kita sadari dan sedapat mungkin jangan lagi menjadi beban pikiran kita. Kita harus berjuang untuk menyikapinya secara benar dan meninggalkannya sejauh mungkin. Jika hal itu salah dan kita mengerti memang salah, kita harus tegas dan berani mengambil sikap tegas pula bahwa yang salah itu harus dihentikan.

Tindakan Benar Demi Relasi

Ada pernyataan penting yang dapat kita petik dari Aṅguttara Nikāya II.21, yaitu: ”Ada dua orang bodoh. Yang manakah dua itu? Ada orang yang tidak melihat kesalahannya sendiri sebagai satu kesalahan, dan ada orang yang tidak secara benar memaafkan orang lain yang sudah mengakui kesalahannya. Inilah dua orang bodoh. ” (AN 2.21)

Bertolak belakang dengan hal tersebut di atas ada pula pernyataan penting dari Dīgha Nikāya, yaitu: ”Ada dua orang bijaksana. Yang manakah dua itu? Ada orang yang melihat kesalahannya sendiri sebagai satu kesalahan, dan ada orang yang secara benar memaafkan orang lain yang sudah mengakui kesalahannya. Inilah dua orang bijaksana. ” (DN 2)

Inilah satu sebab perkembangan dalam Dhamma dan Vinaya dari Sang Tathagata, melihat satu kesalahan seperti demikian, ia membuat pengakuan kesalahan sesuai dengan Dhamma, dan melatih diri untuk tidak berbuat kesalahan di masa mendatang.

Sebagaimana yang dimaksudkan dalam Dhammapada syair 217 tersebut di atas dengan memiliki pengendalian diri dalam segala hal adalah merupakan hal yang sangat positif di masyarakat. Mengakui kesalahan yang sudah terlanjur terjadi, dan dengan tulus memaafkan orang lain yang telah membuat kesalahan kepada kita adalah baik untuk menjaga relasi.

Sumber:

- http://www.accesstoinsight.org/canon/sutta

- Dhammapada, Khuddaka Nikāya

- Petikan Aṅguttara Nikāya, Klaten

Oleh: Bhikkhu Cittagutto Thera

(30 November 2008)

Berikutnya

Kiah Uggasena

Kiah Uggasena Cetak E-mail

Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammāsambuddhassa

Muñca pure muñca pacchato, majjhe muñca bhavassa pāragu

Sabbattha vimuttamānaso, na punaṁ jātijaraṁ upehisi

(Dhammapada 348)

Suatu saat rombongan pemain drama keliling yang terdiri atas lima ratus penari dan beberapa pemain akrobat datang ke Rajagaha. Mereka mengadakan pertunjukan di dalam lingkungan istana Raja Bimbisara selama tujuh hari. Di sana seorang penari muda yang merupakan putri seorang pemain akrobat bernyanyi dan menari di atas sebuah galah bambu yang panjang.

Uggasena, putra yang masih muda dari seorang hartawan, jatuh cinta dengan penari itu. Orang tuanya tidak dapat mencegah keinginan putranya untuk menikah dengan gadis tersebut. Ia menikahi penari muda itu dan mengikuti rombongan tersebut. Karena Uggasena bukan seorang penari juga bukan pemain akrobat, maka ia benar-benar tidak berguna bagi rombongan tersebut, sehingga saat rombongan itu pindah dari satu tempat ke tempat lain, ia hanya membantu mengangkut kotak-kotak, mengemudikan kereta, dan lain-lainnya.

Pada suatu saat seorang anak laki-laki lahir dari pasangan Uggasena dan istrinya, sang penari. Kepada anak laki-lakinya, penari tersebut sering menyanyikan sebuah lagu seperti ini: ”O kamu, putera seorang lelaki yang menjaga kereta-kereta; lelaki yang mengangkut kotak-kotak dan buntelan-buntelan! O kamu, putera seorang yang bodoh, yang tidak dapat melakukan apapun!”

Uggasena mendengar lagu itu. Ia mengetahui bahwa istrinya menunjukkan hal itu kepadanya dan hal ini membuat ia sangat terluka dan tertekan. Maka ia pergi menemui ayah mertuanya, seorang pemain akrobat, dan meminta agar diajari bermain akrobat. Setelah setahun berlatih, Uggasena menjadi pemain akrobat yang trampil.

Suatu ketika, Uggasena kembali ke Rajagaha, dan diumumkan bahwa Uggasena akan memperlihatkan ketrampilannya di muka umum selama tujuh hari. Pada hari ke tujuh, sebatang galah yang panjang digunakan dan Uggasena berdiri di atasnya. Dengan tanda-tanda yang diberikan dari bawah, ia berjungkir balik tujuh kali di atas galah itu. Saat itu Sang Buddha melihat Uggasena dalam batin Beliau dan mengetahui bahwa telah tiba saatnya bagi Uggasena untuk mencapai tingkat kesucian arahat.

Kemudian Sang Buddha memasuki Kota Rajagaha, berusaha agar orang-orang (penonton) mengalihkan perhatiannya kepada Beliau, dan bukan bertepuk tangan untuk Uggasena atas prestasi akrobatiknya. Ketika Uggasena melihat bahwa ia sedang diabaikan dan tidak diacuhkan, ia hanya duduk di atas galah, merasa sangat tidak puas dan tertekan.

Sang Buddha menyapa Uggasena, ”Uggasena, orang bijaksana seharusnya melepaskan semua kemelekatan pada kelompok-kelompok kehidupan (khandha), dan berjuang untuk mencapai kebebasan dari lingkaran tumimbal lahir”.

Kemudian Sang Buddha membabarkan Dhammapada syair 348 berikut:

”Tinggalkan apa yang telah lalu, yang akan datang, maupun yang sekarang (kemelekatan terhadap lima kelompok kehidupan) dan capailah ’Pantai Seberang’ (Nibbāna). Dengan pikiran yang telah bebas dari segala sesuatu, maka engkau tak akan mengalami kelahiran dan kelapukan lagi.”

Pada saat khotbah Dhamma itu berakhir, Uggasena yang masih berada di atas galah, mencapai tingkat kesucian arahat. Ia turun dan segera diterima dalam pasamuan bhikkhu oleh Sang Buddha.

Sumber: Dhammapada Atthakatha

Oleh: Bhikkhu Khemanando

(04 Januari 2009)



TTADANDA SUTTA (Perilaku Kekerasan

ATTADANDA SUTTA (Perilaku Kekerasan) Cetak E-mail

Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammāsambuddhassa

Rasa takut muncul karena mengambil jalan kekerasan -- lihat saja bagaimana orang-orang ber-tengkar dan berkelahi. Tetapi akan kujelaskan padamu sekarang tentang kecemasan dan teror yang telah kurasakan.

Melihat orang-orang meronta --bagaikan ikan yang menggelepar di air yang dangkal-- dengan rasa saling bermusuhan, aku menjadi takut.

Pada suatu ketika, aku ingin mencari tempat untuk bernaung, tetapi tidak pernah kulihat tempat seperti itu. Tak ada sesuatu pun di dunia ini yang kokoh dasarnya, tak ada satu bagian pun darinya yang tidak berubah.

Telah kulihat mereka semua berada di dalam perangkap konflik satu sama lain, dan itulah sebabnya aku merasa amat muak. Tetapi kemudian kulihat sesuatu yang terkubur di dalam hati mereka. Dan itu --kemudian kulihat-- adalah satu anak panah.

Anak panah itulah yang membuat semua korbannya berlarian ke sana kemari. Tetapi bila panah itu telah dicabut keluar, semua lintang pukang pun berhenti. Demikian pula keletihan yang muncul bersamanya.

Ada yang dapat kita pelajari dari hal ini: ikatan-ikatan dunia tidak seharusnya dikejar. Dengan tidak tertarik pada segala kesenangan indera, orang seharusnya melatih diri di dalam ketenangan (nibbāna).

Orang bijaksana harus jujur, tidak congkak, tidak menipu, tidak memfitnah dan tidak membenci. Dia seharusnya meninggalkan jahatnya keserakahan dan kekikiran.

Untuk membuat pikiranmu terarah pada ketenangan, engkau harus menaklukkan kantuk, kelesuan dan kemalasan mental. Tidak ada tempat bagi kemalasan dan tidak ada jalan bagi kesombongan.

Janganlah terpengaruh untuk mau berbohong, janganlah melekat pada bentuk. Engkau harus menembus semua kesombongan dan hidup tanpa kekerasan.

Janganlah terhanyut oleh apa yang sudah lama, jangan merasa senang dengan apa yang baru. Janganlah menangisi apa yang hilang, janganlah dikendalikan oleh nafsu.

Kusebut nafsu keinginan ini, keserakahan ini: banjir yang besar. Dan kusebut kerinduan ini kemelekatan, rintangan. Lumpur nafsu ini sulit diseberangi.

Tetapi manusia bijaksana berdiri di atas tanah yang kokoh -- dia bagaikan brahmana, yang tidak pernah menyeleweng dari kebenaran, dan ketika dia telah sepenuhnya meninggalkan keduniawian, maka dia benar-benar tenang.

Dia memiliki kebijaksanaan, dan pengetahuan yang lengkap, dia telah memahami Segala Sesuatu Sebagaimana Adanya. Dia sepenuhnya mandiri. Ketika berkelana secara sempurna dari satu tempat ke tempat lain, dia tidak memiliki iri hati terhadap siapa pun.

Nafsu merupakan rantai, yang membelenggu dunia, dan sulit untuk dipatahkan. Namun begitu dipatahkan, tidak akan ada lagi ratap tangis dan kerinduan: arusnya telah terpotong dan tidak ada lagi rantai-rantai.

Hendaknya tidak ada apapun di belakangmu; sisihkan masa depan ke satu sisi. Jangan mencengkeram apa yang terletak di tengah; dengan demikian engkau akan menjadi kelana dan akan tenang.

Jika orang sama sekali tidak mengidentifikasikan dirinya dengan batin dan materi, jika dia tidak meratapi apa yang tidak ada, maka dia tidak akan menderita karena kehilangan di dunia ini.

Bila dia tidak berpikir, ’Ini milikku’ atau ’Itu milik mereka’, maka dia tidak mungkin berduka dengan pikiran ’Aku tidak punya’, karena dia tidak memiliki egoisme.

Jika engkau meminta aku menjelaskan tentang orang yang tidak tergoyahkan, kukatakan bahwa di mana tidak ada kekerasan, di mana tidak ada keserakahan, tidak ada jejak nafsu, dan jika dia tetap sama dalam segala keadaan, maka engkau peroleh apa yang dapat kusebut kondisi terpuji dari manusia yang tak tergoyahkan.

Orang yang memiliki pemahaman, dan tanpa gejolak nafsu, tidak akan mengumpulkan --dia tidak memiliki pengondisian-- dia telah menghentikan segala usaha macam apapun; jadi di manapun juga dia melihat kedamaian dan kebahagiaan.

Orang bijaksana tidak menilai dirinya yang tertinggi, terendah, atau pun orang biasa; karena tenang dan tidak egois, dia bebas dari kepemilikan: dia tidak mengukuhi apapun dan dia tidak menolak apapun.

Sumber: Atthaka Vagga, Sutta Nipāta, Khuddaka Nikāya

Oleh: Bhikkhu Indadhiro

(22 Februari 2009)