Selasa, 14 Juli 2009

Bahagia dalam Kebersamaan

Bahagia dalam Kebersamaan Cetak E-mail

Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammāsambuddhassa

Yathā ahaṁ tathā ete, yathā ete tathā ahaṁ.

Attānaṁ upamaṁ katvā, na haneyya na ghātaye.

Begini aku, begitu pula orang lain; begini orang lain, begitu pula aku.

Setelah memiliki penyamaan diri sendiri dengan orang lain seperti itu, hendaklah seseorang tidak mencelakai siapapun atau menyebabkan orang lain celaka.

(Sutta Nipāta: 705)

Sebagai anggota masyarakat, tentu kita semua merasa sangat prihatin melihat kekerasan, pertikaian, perang dan sebagainya, yang terjadi selama ini. Kekerasan terjadi mulai dari antar anggota keluarga, anggota masyarakat, sampai antar negara. Setiap kekerasan selalu menimbulkan korban jiwa. Seolah-olah kehidupan makhluk hidup sudah tidak ada harganya lagi. Banyak yang berkomentar bahwa kekerasan terjadi karena perbedaan. Perbedaan merupakan fenomena kehidupan yang tidak dapat dihindari. Kalau kita mau menyadari, pada unit yang terkecil sekalipun, yaitu: diri kita ini juga terdiri dari bagian-bagian tubuh yang berbeda. Keharmonisan dapat terjadi, bukan karena tidak ada perbedaan, tetapi bagaimana kita bisa menerima, memahami, dan menghormati setiap perbedaan.

Hidup Harmonis dalam Perbedaan

Kehidupan yang baik dan harmonis sangat diharapkan oleh setiap orang. Oleh karena itu, kita harus bersama-sama melakukan usaha yang baik untuk mewujudkannya. Sebagai anggota masyarakat yang majemuk, kita dapat memulai dari diri sendiri agar dapat mewujudkan hidup harmonis. Tiga hal yang perlu kita lakukan bersama adalah:

1. Harmonis dengan diri sendiri.

Harmonis dengan diri sendiri adalah kesiapan mental kita untuk menerima kenyataan sebagaimana adanya. Menerima kenyataan yang tidak sesuai dengan keinginan kita merupakan pekerjaan yang tidak mudah untuk dilakukan. Keegoisan adalah sebabnya, mengapa kita tidak dapat menerima perbedaan. Sering kali dalam sebuah keluarga, hubungan antar anggota keluarga menjadi retak karena masing-masing mempertahankan egonya. Tidak ada yang mau mengalah, semua merasa paling baik dan benar. Jadi, bersahabat dengan diri sendiri adalah dengan menurunkan ego menjadi dasar terciptanya keharmonisan.

2. Menjaga perilaku dan ucapan

Pengendalian tingkah laku dan ucapan merupakan dasar moralitas yang berlaku universal. Perilaku dan ucapan yang tidak terkendali akan sangat mudah menimbulkan konflik dalam masyarakat yang majemuk ini. Sebagaimana kita tidak ingin dibunuh, begitu pula orang lain. Kita tidak ingin milik kita dicuri, demikian pula orang lain. Kita tidak ingin pasangan kita selingkuh, begitu pula pasangan kita tidak senang kalau kita selingkuh. Kita tidak senang dibohongi, begitu pula orang lain. (S.N. V, 354) Kalau kita tidak menyukai perbuatan tersebut, janganlah kita melakukannya pada orang lain!

3. Harmonis dengan orang lain

Dalam Aṅguttara Nikāya II. 32, Buddha menjelaskan tentang empat Dhamma yang menunjang persahabatan dan kebersamaan, yaitu:

a. Dāna: Kerelaan/memberi

Memberi merupakan dasar terciptanya hubungan yang baik antarumat manusia, bahkan dengan semua makhluk agar dapat hidup bersama dengan baik. Sesungguhnya, memberi tidak harus menunggu kita punya materi yang banyak. Meskipun kita tidak memiliki harta materi, kita bisa melakukan praktik kebajikan memberi ini dalam bentuk yang lain. Misalnya, kita tersenyum kepada orang lain, menyapa orang lain, memaafkan mereka yang menyakiti hati kita dan sebagainya. Ketika kita tersenyum atau menyapa pada seseorang yang membenci kita sekalipun, merekapun lama-kelamaan akan menjadi luluh. Karena tidak ada kebencian yang akan berakhir bila dibalas dengan membenci, tetapi kebencian akan segera berakhir bila dibalas dengan cinta kasih. (Dhp, I : 5)

b. Piyavācā: Ucapan yang baik dan halus

Ucapan yang menyenangkan adalah kata-kata yang diucapkan dengan ketulusan, kelembutan, cinta kasih, dan tanpa menyakiti hati lawan bicaranya. Ucapan yang baik dapat membuat dunia damai. Namun ucapan yang kasar, tidak baik, dapat menyebabkan timbulnya perselisihan, bahkan dunia bisa hancur akibat ucapan yang salah.

c. Atthacariyā: Melakukan hal-hal yang bermanfaat untuk orang lain. Perbuatan seperti ini sesungguhnya ada pada hal-hal yang sederhana. Namun, karena ego kita yang tinggi, kita merasa gengsi untuk melakukannya. Contoh, seorang yang menyiapkan tempat duduk untuk duduk orang lain. Tanpa kita sadari orang yang duduk di situ telah merasakan kebahagiaan. Tentunya, kalau hal ini kita lakukan terus-menerus dan bukan dengan terpaksa, maka akan dapat menciptakan persahabatan dan akan membuat orang lain senang pada kita. Perbuatan ini bisa kita lakukan sesuai dengan kondisi dan kemampuan kita masing-masing.

d. Samānattatā: Tidak sombong

Setelah kita melakukan sesuatu yang baik untuk mewujudkan kebersamaan, kita hendaknya tetap menjaga diri kita agar tidak sombong. Kita dapat berpikir bahwa setiap orang memiliki kekurangan dan kelebihan, termasuk kita. Di satu sisi, mungkin kita memiliki kelebihan, tapi di sisi lain kita juga memiliki kekurangan. Dengan berpikir seperti ini, kita akan lebih bisa memahami keadaan orang lain dan tidak sombong dengan kelebihan kita. Kesombongan bukan hanya merugikan diri sendiri, tetapi juga bisa menghancurkan kebersamaan dan persahabatan yang telah terjalin.

Perbedaan adalah fenomena kehidupan yang wajar. Memang, kekerasan, pertikaian, perang, dan sebagainya yang terjadi selama ini terjadi karena perbedaan, tetapi kita tidak bisa menjamin bahwa kalau tidak ada perbedaan, kekerasan tidak akan terjadi. Perbedaan bukanlah penghalang untuk mewujudkan hidup yang harmonis. Akar dari semua konflik, sesungguhnya bersumber pada diri kita, bukan pada perbedaan. Ego yang tinggi, merasa paling baik, paling benar akan menyebabkan munculnya sekat-sekat di antara kita. Sekat-sekat inilah yang akan meruntuhkan sendi-sendi kehidupan. Keharmonisan dalam masyarakat yang majemuk dapat terwujud, apabila kita dapat harmonis dengan diri sendiri dan orang lain. Kita hendaknya dapat melihat kenyataan hidup secara obyektif, tidak secara subyektif. Dengan demikian, kita akan mampu hidup berdampingan dengan yang lain. Karena itu, marilah kita mengikis sekat-sekat tersebut dan melakukan hal-hal yang dapat menyebabkan kebersamaan, persahabatan, yaitu dengan memberi, berucap yang menyenangkan, melakukan sesuatu yang bermanfaat untuk orang lain, dan tidak sombong.

Oleh: Bhikkhu Dhammajāto

(01 April 2007)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar