Selasa, 30 Juni 2009

Kebencian Jangan Di Balas Dengan Kebencian

Kebencian Jangan Di Balas Dengan Kebencian

Terdapatlah sebuah keluarga yang terdiri dari seorang ibu yang tinggal bersama dengan seorang anak laki-lakinya. Ayahnya sudah meninggal, sehingga ia mengerjakan semua pekerjaan di ladang dan pekerjaan di rumah seorang diri. Ia juga merawat ibunya dengan penuh kasih. Pada suatu hari ibunya berkata: “Anakku, saya akan mencarikan seorang gadis untuk dijadikan isterimu”. “Ibu, janganlah seperti itu, saya akan menjagamu sepanjang hidupmu”. “Anakku, saya kasihan melihatmu bekerja keras seorang diri di rumah dan di ladang. Jadi biarkanlah saya mencarikan seorang gadis untuk menjadi isterimu, sehingga ia dapat mambantumu”.

Anak itu menolak terus permintaan ibunya, sampai akhirnya ia diam saja. Ibunya bermaksud pergi ke satu keluarga di desa dan meminta anak gadis keluarga itu untuk dibawa pulang menjadi menantunya. Anaknya bertanya: “Ibu hendak pergi ke keluarga mana?”. Ibunya menjawab akan pergi ke keluarga yang mana saja. Si anak menganjurkan ibunya untuk pergi ke keluarga yang mempunyai seorang anak gadis yang disukainya.

Ibunya lalu pergi ke keluarga yang dimaksud oleh anaknya. Setelah bertemu dengan gadis yang disukai anaknya, ia minta ijin kepada orang tua si gadis untuk membawa pulang anak gadisnya dan menjadi menantunya. Orang tua gadis itu setuju, anak gadisnya dibawa pulang, kemudian si ibu berkata kepada anaknya: “Anakku, saya sudah membawa seorang gadis untuk menjadi isterimu”. Akhirnya anak tersebut kawin dengan gadis yang disukainya. Sesudah beberapa tahun, mereka belum juga memperoleh seorang anak, padahal ibunya sangat mengharapkan seorang cucu.

Pada suatu hari ibunya berkata: “Anakku, kamu harus mempunyai anak, kalau kamu tidak mempunyai anak maka keturunan kita akan habis. Kalau begitu lebih baik saya mencari gadis lain untuk menjadi isteri mudamu”. “Ibu, janqan berkata seperti itu, sudah cukup hal itu ibu bicarakan berulang kali”, kata anaknya. Tetapi ibunya tetap membicarakan hal itu terus menerus. Isteri petani mendengar mertuanya membicarakan hal itu berulang-ulang, ia lalu berpikir: “Kalau ibu mertua yang mencarikan gadis lain sebagai isteri muda suamiku, saya pasti akan menjadi budak mereka. Lebih baik saya yang mencari gadis untuk dijadikan isteri muda suamiku, sehingga ia patuh kepadaku”.

Isteri petani itu pergi mencari seorang gadis untuk dijadikan isteri muda suaminya. Ia menjelaskan kepada orang tua gadis yang dipilihnya, bahwa suaminya mencari seorang gadis untuk dijadikan isteri mudanya, karena ia tidak bisa punya anak, sedangkan ibu mertuanya ingin sekali memperoleh keturunan. Akhirnya orang tua gadis itu menyetujui anak gadisnya dibawa pulang. Tetapi selanjutnya isteri petani itu berpikir: “Kalau saingan saya ini punya anak, pasti ia akan menjadi ratu rumah tangga, dan disayangi oleh suami dan ibu mertua. Saya harus menghalanginya supaya dia tidak bisa punya anak”. Ia berkata kepada isteri muda: “Kalau kamu mengandung, beritahu saya ya!”. “Baiklah”, kata isteri muda.

Jadi setiap kali isteri muda itu hamil, ia segera memberitahukan kepada isteri tuanya, isteri tua lalu memberinya obat, sehingga kandungannya gugur, sampai dua kali ia kehilangan anaknya. Para tetangga bertanya mengapa ia keguguran terus, “Apakah sainganmu itu tidak menghalangimu untuk punya seorang anak?”. Iapun menceritakan perjanjian mereka.

Para tetangganya lalu menasehati untuk tidak memberitahukan apabila ia hamil lagi. Ketika ia hamil untuk ke tiga kalinya ia tidak memberitahukan isteri tua. Tetapi pada waktu isteri tua mengetahui ia hamil lagi, ia berkata kepada isteri muda: “Mengapa kamu tidak memberitahukan saya kalau kamu hamil lagi?”. Isteri muda itu menjawab: “Karena kalau saya beritahu, kamu akan memberi saya obat sehingga saya keguguran, mengapa saya harus memberitahukanmu?”. Isteri tua lalu mencari akal untuk menghalangi isteri mudanya melahirkan seorang anak. Pada waktu melahirkan akan tiba, isteri tua lalu memberikan obat lagi kepada isteri muda, sehingga bayi dalam kandungan itu tidak dapat lahir. Isteri muda menderita kesakitan yang amat sangat, ia tidak tahan lagi.

Ketika ia melihat isteri tua datang, ia amat ketakutan, lalu berteriak: “Kamu membunuh saya! Kamu sangat jahat, kamu yang membawa saya kesini, kamu sendiri yang membunuh ketiga anak saya dan sekarang saya juga akan mati. Kalau saya mati, saya akan menjadi raksasa dan akan saya makan anak-anakmu!”. Sesudah mengucapkan sumpah, isteri muda meninggal dunia dan terlahir kembali sebagai seekor kucing. Si suami yang mengetahui semua ini terjadi karena perbuatan isteri tuanya, amat marah: “Kamu menghancurkan keturunan saya!”. Ia lalu memukuli isteri tuanya. Akibat pukulan suaminya, isteri tua menderita sakit lalu meninggal dunia dan terlahir kembali sebagai seekor ayam betina. Jadi isteri muda terlahir sebagai seekor kucing, isteri tua terlahir sebagai seekor ayam betina.

Setiap kali ayam betina itu bertelur, si kucing selalu makan telur ayam betina itu sampai yang ketiga kalinya, ayam betina itu berkata: “Tiga kali sudah kamu makan telur saya, sekarang kamu juga ingin makan saya, kalau saya mati, saya akan memangsa kamu beserta keturunanmu”. Sesudah ia mengucapkan sumpahnya, ia mati dan terlahir sebagai seekor macan tutul. Si kucing setelah mati terlahir sebagai seekor kijang betina. Demikian pula macan tutul itu selalu memangsa anak kijang betina sampai ketiga kalinya, kijang betina itu berkata: “Hai makhluk jelek, tiga kali sudah kamu makan anak-anak saya, sekarang kamu ingin memangsa saya juga. Kalau saya mati, saya akan memangsa kamu dan keturunanmu”. Sesudah ia mengucapkan sumpahnya, ia mati dan terlahir sebagai raksasa.

Si macan tutul mati dan terlahir sebagai wanita yang tinggal di Savatthi. Jadi isteri muda yang kelahirannya yang terakhir sebagai kijang, terlahir kembali sebagai raksasa, dan isteri tua yang pada kelahirannya yang terakhir sebagai macan tutul, terlahir kembali sebagai wanita muda. Ketika wanita muda itu dewasa, ia menikah dengan seorang pemuda, dan tinggal bersama keluarga suaminya. Tidak lama kemudian ia melahirkan seorang bayi laki-laki. Raksasa itu mengetahui kalau musuhnya sudah mempunyai seorang anak, ia menyamar menjadi teman wanita muda itu, dan berpura-pura mau menengoknya. Ia bertanya: “Di mana teman saya?”. “Di dalam kamar, ia baru saja melahirkan seorang bayi”. “Bayinya laki-laki atau perempuan? Saya ingin melihatnya”. Raksasa itu masuk ke kamar wanita tersebut. Ketika ia melihat bayi itu ia lalu memakannya, kemudian ia pergi.

Demikian pula ketika wanita muda itu melahirkan anak ke duanya, raksasa itu datang lagi dan memakan anaknya. Ketika wanita itu hamil untuk ketiga kalinya ia mengajak suaminya untuk pulang ke rumah ibunya dan melahirkan di sana. Raksasa yang mengetahui musuhnya itu hamil lagi, pergi mencari wanita muda itu ke rumahnya dan bertanya kepada keluarga suami wanita muda itu: “Ke mana teman saya?”. “Kamu tidak dapat menemuinya di rumah ini, karena disini ada raksasa yang selalu makan anak-anaknya, jadi ia pulang ke rumah orang tuanya”. “Ia boleh pergi ke mana saja ia suka.

Tetapi ia tidak dapat melarikan diri dari saya”, kata si raksasa itu dengan penuh rasa benci. Lalu ia pergi ke kota tempat wanita muda itu berada. Setelah wanita muda itu melahirkan anaknya dan merasa sehat kembali, ia mengajak suaminya pulang ke rumah. Di tengah perjalanan, mereka berhenti di tepi sebuah kolam yang airnya jernih, lalu mereka bergantian mandi. Kolam itu berada dekat dengan Vihara tempat Sang Buddha berdiam. Pada saat suaminya mandi di kolam, wanita muda itu melihat si raksasa mendekat. Ia mengenali raksasa yang selalu makan anak-anaknya. Dengan amat takut ia berteriak-teriak memanggil suaminya: “Suamiku! Suamiku! Cepat kemari! Cepat kemari! Di sini ada raksasa!”.

Tanpa menunggu suaminya datang, ia cepat-cepat lari dengan menggendong anaknya, masuk ke Vihara. Pada saat itu Sang Buddha sedang memberikan Ajaran kepada para muridnya. Wanita muda yang sedang ketakutan dan panik masuk ke Vihara lalu meletakkan bayinya di kaki Sang Buddha dan berkata: “Yang Mulia, saya berikan anak ini, lindungilah anak saya, ada raksasa yang ingin memakannya”.

Raksasa Sumana mengejarnya dan ingin masuk ke dalam Vihara. Sang Buddha meminta Yang Arya Ananda untuk membawa masuk raksasa itu: “Pergilah Ananda, biarkanlah raksasa itu masuk”. Raksasa itu masuk ke dalam Vihara, dan wanita muda amat ketakutan: “Yang Mulia, dia datang ke sini!”. Sang Buddha berkata: “Jangan takut, biarkan ia masuk!”. Ketika raksasa itu tiba, Sang Buddha bertanya: “Sumana, mengapa kamu berlaku seperti itu? Sekarang kamu berhadapan langsung dengan seorang Buddha. Mengapa kamu memupuk rasa benci terhadap makhluk lain selama berabad-abad lamanya? Mengapa kebencian dibalas dengan kebencian? Kebencian akan berakhir apabila dibalas dengan cinta kasih”. Sang Buddha lalu mengucapkan syair:

“Kebencian tidak akan pernah berakhir apabila dibalas dengan kebencian. Tetapi kebencian akan berakhir bila dibalas dengan tidak membenci. Inilah suatu hukum abadi”.
(Dhammapada, Yamaka Vagga no 5)

Setelah mendengar syair tersebut, bathin raksasa Sumana menjadi tenang, rasa bencinya hilang berganti dengan rasa cinta kasih. Sang Buddha berkata kepada wanita muda itu, “Berikanlah anakmu kepada raksasa itu”. “Saya takut, Yang Mulia”. “Jangan takut. Kamu tidak perlu khawatir lagi terhadapnya”. Wanita muda itu memberikan anaknya ke raksasa.

Kemudian raksasa itu memeluk dan menciumi bayi itu dengan penuh kasih. Bayi itu dikembalikan kepada ibunya, dan ia menangis. Sang Buddha lalu bertanya: “Mengapa kamu menangis?”. “Yang Mulia, di masa yang lampau saya berusaha untuk bisa hidup tetapi selalu kelaparan”. Sang Buddha lalu menghiburnya, dan berkata: “Jangan khawatir, Sumana”. Sang Buddha lalu berkata kepada wanita muda itu: “Bawalah ia pulang ke rumahmu, ajaklah ia tinggal bersamamu, dan berikan bubur yang enak”. Wanita muda tersebut mengajak raksasa itu pulang ke rumahnya, dan tinggal bersama mereka di dalam rumah.

Tetapi si raksasa tidak betah tinggal di dalam rumah, akhirnya ia tinggal di hutan dekat rumah wanita muda itu. Ia selalu membantu wanita muda itu dan juga penduduk di sekitar desa. Karena kebenciannya telah hilang dan berganti dengan cinta kasih, ia hidup bahagia di hutan

Dhammayatra

Dhammayatra

Dhammayatra terdiri dari dua kata yaitu dhamma dan yatra. Dhamma artinya kesunyataan, benar, kebenaran dsb. Sedangkan yatra artinya di tempat mana. Jadi kata Dhammayatra artinya adalah tempat dharma. Dengan demikian dhammayatra yang dimaksud adalah tempat yang berhubungan dengan dhamma. Yang perlu dikunjungi oleh umat Buddha, karena mengunjungi tempat dhamma inilah maka akhirnya dhammayatra secara umum berarti berziarah ke tempat – tempat suci.

Untuk berdhammayatra telah disebutkan dalam Mahaparinibbana Sutta, Digha Nikaya. Namun informasi tentang adanya kegiatan dhammayatra tidak pernah disebutkan sejak Sang Buddha Parinibbana hingga pada masa raja Asoka. Kegiatan dhammayatra muncul pada abad III, ketika Raja Asoka berkuasa di jambudipa.

Menurut kitab Mahavastu dan Asokavadana, di ibukota jambudipa, pataliputta ( patna, sekarang ) berkuasa seorang raja bernama Bindusara. Raja memiliki banyak permaisuri dan memiliki seratus anak. Salah seorang anak raja bernama pangeran Asoka. Asoka mempunyai kekuatan dan kemampuan yang luar biasa melampaui saudara – saudaranya. Sebelum menjadi raja, Asoka membunuh 99 orang saudaranya, sehingga ia memiliki kerajaan yang utuh. Hal ini terjadi 218 BE ( Buddhist Era ), yang dihitung mulai sejak Sang Buddha Parinibbana. Dan empat tahun kemudian ia dinobatkan menjadi raja di pataliputta, Ia telah menguasai seluruh jambudipa ( Sekarang India, Pakistan, Bangladesh, Nepal dan Bhutan )

Sebagai raja ia memerintah dengan keras, dan ia dipandang sebagai raja yang bengis dan kejam sehingga ia dijuluki sebagai Candasoka ( Asoka jahat ).

Pada mulanya raja Asoka ridak mengenal Buddha Dharma, Namun pada suatu hari, selagi raja berdiri di dekat jendela, ia melihat seorang petapa yang tenang sekali, yaitu samanera Nigrodha, putra dari sumana, kakak tertua dari semua anak raja Bindusara Dengan kata lain Samanera Sumana adalah kemenakan Raja Asoka sendiri.

Raja Asoka mengundang Samanera Sumana ke istananya, Di istana Samanera membabarkan Appamanavagga ( Samyuta Nikaya ) kepada raja. Akhirnya raja menjadi umat Buddha, sejak menjadi umat Buddha, raja melakukan banyak dana dan perbuatan baik lainnya.

Menurut kitab Mahavamsa, Raja Asoka menjadi umat Buddha karena bertemu dengan Samanera Sumana, sedangkan menurut kitab Asokavadana, raja bertemu dengan bhikkhu Samudra, dalam pertemuan itu Bhikkhu menunjukan kekuatan batin ( Abhinna ) dengan cara melayangkan tubuhnya ke angkasa, setengah dari tubuhnya mengeluarkan api dan setengah tubuhnya yang lain mengeluarkan air. Karena pertunjukan inilah maka raja menjadi umat Buddha.

Setelah raja menjadi umat Buddha, selain ia melakukan banyak perbuatan baik, juga ia mendirikan banyak vihara. Pendirian banyak vihara ini dilakukan sehubungan dengan dialog antara Raja Asoka dengan Bhikkhu Moggaliputta.

“ Bagaimana besar dhamma yang diajarkan Sang Buddha ? Bhikkhu Moggaliputta Tissa menjawabnya, ketika raja mendengar ada 84.000 bagian Dhamma lalu raja berkata : “ dari setiap bagian itu, saya akan hormati dengan sebuah vihara, Ia memberikan uang sebanyak 96 koti untuk 84.000 kota, serta memerintah para raja ( bawahannya ) untuk membangun vihara dan ia sendiri mulai mendirikan Asokarama”

(Mahavamsa 77 – 80 )

Karena perbuatan baiknya begitu banyak dan prilakunya berubah, maka Raja Asoka dikenal dengan nama Dhammasoka ( Asoka yang hidup sesuai dengan dharma ).

Selanjutnya dalam kitab Asokavadana disebutkan bahwa setelah Raja Asoka menjadi umat Buddha di bawah bimbingan Bhikkhu Samudra, kemudian ia bertemu dengan Bhikkhu Upagupta. Pada pertemuan itu, raja bertanya kepada Bhikkhu : “ Baik sekali Maharaja, jawab Upagupta, keinginan anda sangat menarik, saya akan menunjukkan tempat – tempat itu hari ini…”

Kemudian Raja Asoka menyiapkan 4 kelompok pasukan, menyiapkan wangi - wangian dan bunga – bungaan dan berangkat bersama Bhikkhu Upagupta.

Dari uraian diatas, kita dapat mengetahui tentang Raja Asoka dengan bantuan Bhikkhu Upagupta melakukan ziarah ke tempat – tempat yang ada hubungannya dengan kehidupan Sang Buddha.

Pahala Berdhammayatra

Pahala yang didapat sebagai hasil karma baik karena berdhammayatra adalah besar sekali, karena pahala berdhammayatra ini akan membantu dan menentukan kelahiran kita pada kehidupan yang akan dating. Hal ini dapat kita ketahui dari kutipan di bawah ini :

“Ananda, bagi mereka yang dengan keyakinan kuat melakukan ziarah ke tempat – tempat itu, maka setelah mereka meninggal dunia , mereka akan terlahir kembali di alam surga “

Karma baik berdhammayatra dengan terlahir kembali di alam surga setelah kematian kita, ini berarti bahwa ketika kita berada di tempat – tempat dhammayatra, kita melakukan perenungan akan sifat – sifat Sang Buddha dan kita berusaha melakukannya dalam kehidupan seari – hari. Dengan kata lain, setelah kita berdhammayatra kita berusaha melakukan perbuatan baik dan menghindari perbuatan jahat.

Juga setelah kita berdhammayatra lalu kita meninggal, dan pada saat meninggal mengingat atau merenung tempat – tempat itu sehubungannya dengan Sang Buddha, maka kelahiran di alam surga dapat diharapkan, asalkan kita tidak pernah melakukan perbuatan karma buruk yang berat ( seperti membunuh orang tua ), maka kelahiran di alam surga dapat diharapkan.

Tempat – tempat Dhammayatra

Tempat – tempat untuk berdhammayatra telah disebutkan dalam Mahaparinibbana Sutta oleh Sang Buddha kepada Bhikkhu Ananda, sebagai berikut :

“ Ananda, ada 4 tempat bagi seorang berbakti untuk di ziarahi, menyatakan sujudnya sebagai perasaan hormat, dimanakah ke empat tempat itu ?”

Ananda, tempat dimana Tathagata dilahirkan adalah tempat bagi seorang berbakti seharusnya berziarah, menyatakan sujudnya dengan perasaan hormat.

Tempat dimana Sang Tathagata mencapai penerangan sempurna yang tiada taranya, adalah tempat bagi seorang berbakti seharusnya berziarah menyatakan sujudnya dengan perasaan hormat.

Tempat dimana Sang Tathagata memutarkan Roda Dhamma untuk pertama kali adalah tempat bagi seorang berbakti seharusnya berziarah menyatakan sujudnya dengan perasaan hormat.

Tempat dimana Sang Tathagata meninggal ( Parinibbana ) adalah tempat bagi seorang berbakti seharusnya berziarah, menyatakan sujudnya dengan perasaan hormat.

Mereka yang berziarah ke tempat – tempat itu, apakah mereka itu para bhikkhu, para bhikhhuni, para upasaka atau para upasika merenungkan : “Disinilah Sang Tathagata dilahirkan, Disinilah Sang Tathagata mencapai penerangan sempurna, Disinilah Sang Tathagata memutarkan Roda Dhamma untuk pertama kali, Disinilah Sang Tathagata meninggal ( Parinibbana )”

Itulah empat tempat Dhammayatra bagi umat Buddha yang diberitahukan oleh Sang Buddha kepada Bhikkhu Ananda. Hal ini disampaikan oleh Sang Buddha menjelang Beliau parinibbana atau meninggal dunia.

1. Lumbini

Adalah tempat kelahiran Pangeran Siddhartha yang kelak menjadi Buddha, Lumbini sekarang ini dikenal pula dengan nama Rummindei terletak di kerajaan Nepal, kira – kira 10 km dari perbatasan India, di utara kota Gorakpur, Uttar Prades, India.

Sekarang ini di Lumbini ada beberapa bangunan yang dibuat untuk menunjukan bahwa ditempat itulah Pangeran Siddhartha yang menjadi Buddha dilahirkan, diantaranya adalah Pilar Asoka, Vihara Mayadevi.

Pilar Asoka didirikan oleh Raja Asoka ketika beliau mengunjungi Lumbini, pada sekitar tahun 250 BC, pilar ini merupakan tiang batu ( monolith ) dan ada prasasti yang ditulis disitu. Isi prasasti pilar Asoka adalah sebagai berikut :

“Dua puluh tahun setelah dinobatkan menjadi raja, raja Priyadarsi, kecintaan para dewa, mengunjungi tempat ini dan melakukan puja, sebab Sang Buddha petapa sakya lahir disini. Ia mendirikan pagar batu di sekeliling tempat ini dan mendirikan pilar batu untuk memperingati kunjungannya. Karena Sang Buddha

Lahir disini, maka ia membebaskan para penduduk desa Lumbini dari pembayaran pajak dan hanya membayar seperdelapan dari hasil tanaman sebagai ganti dari pembayaran yang seharusnya.

Vihara Mayadevi merupakan sebuah tempat persembahyangan yang memiliki sebuah rupang yang menggambarkan tentang Ratu Mahamaya memegang cabang pohon salad an bayi yang baru lahir berdiri diatas bunga teratai.

Pada januari 1996, sebuah tim arkeologi dari jepang, India, Pakistan dan Nepal, menggali sedalam tujuh meter dibawah bekas kolam, mereka menemukan sebuah batu prasasti. Batu prasasti ini adalah batu yang diletakkan oleh Raja Asoka diantara tujuh lapisan bata. Isi tulisan prasasti tersebut adalah “Disinilah Sang Buddha dilahirkan”

2. Buddha Gaya

Buddha Gaya atau Bodh Gaya ( Sekarang ) adalah tempat dimana petapa Gotama mencapai penerangan sempurna ( Bodhi ) menjadi Buddha dibawah pohon Bodhi ( Ficus Religiosa ) Pada waktu pencapaian keBuddhaan, Buddha Gaya merupakan hutan yang dikenal dengan nama hutan Uruvela.

Buddha Gaya terletak di distrik Gaya, Bihar, India. Di Buddha Gaya sekarang ini ada stupa Maha Bodhi, Pohon Bodhi dan Vajrasana.

Stupa Maha bodhi tingginya kira – kira 170 kaki dengan lantai dasar 50 kaki persegi, Stupa ini dibangun dengan batu bata yang tersusun rapi dan diplester. Didepan pintu masuk ke stupa dindingnya ada diukir. Disetiap lubang – lubang atau lekukan dinding, terdapat Buddha Rupang. Tiang – tiang dan pintu gerbangnya dibuat dari batu, ada altar di ruangan lantai dasar, ada pula yang terletak dilantai dua, dan untuk ke lantai itu dapat melalui dua tangga batu. Distupa ini masih banyak obyek yang dapat kita temukan.

Pohon Bodhi yang dianggap dibawah pohon Bodhi itulah petapa Gotama mencapai KeBuddhaan. Pohon ini diperkirakan sebagai pohon asli tempat petapa Gotama mencapai KeBuddhaan. Pohon ini terletak di belakang stupa Maha Bodhi.

Vajrasana adalah tempat duduk petapa Gotama, terletak di bawah pohon Bodhi, ketika petapa Gotama bermeditasi diatas tempat duduk inilah akhirnya beliau menjadi Buddha.

3. Varanasi

Di Taman Rusa ( Migadaya ), Isipathana, Baranasi, Sang Buddha membabarkan khotbah pertama, Dhammacakkapavatthana Sutta kepada lima orang petapa yaitu ( Kondanna, Vappa, Bhadiya, Mahanama, Assajji ). Sekarang tempat ini lebih dikenal dengan nama Sarnath.

Sarnath terletak di distrik Varanasi, Uttar Pradesh, India kira – kira 10 km dari kota Varanasi sekarang.

Tempat dimana Sang Buddha membabarkan khotbah yang pertama telah didirikan sebuah stupa yaitu Dhamek Stupa, yang juga merupakan sisa tanda kejayaan Sarnath. Hal ini disebutkan dalam prasasti Mahipala I dari dinasti Pala tahun 1026 AD, Dhamek Stupa pada mulanya dikenal sebagai Dhammacakka Stupa. Dhamek Stupa pada mulanya dibangun oleh Raja Asoka dengan bentuk menara silinder yang mempunyai dasar dengan diameter 28,5 m tinggi 33,53 m atau 42,06 termasuk dasarnya.

Disamping Dhamek Stupa, ada pula stupa lain yaitu Dharmarajika Stupa yang terletak agak ke utara dari Dhamek Stupa. Stupa yang asli didirikan oleh Raja Asoka dengan dasarnya berdiameter 13,49 m. Tambahan pada stupa dilakukan pada masa kerajaan Kushana. Namun Stupa ini telah dirusak oleh Jagat Singh dari varanasi pada tahun 1794.

4. Kusinara

Kusinara sekarang ini dikenal dengan nama Kushinagar, yang terletak di distrik Deoria, Uttar Pradesh, India atau 55 km arah timur dari kota Gorakpur.

Di kusinara, pada usia 80 tahun Sang Buddha parinibbana atau meninggal dibawah dua pohon sala kembar. Untuk memperingati tempat ini, telah didirikan sebuah stupa yang dikenal dengan nama Mahaparinibbana Stupa dan sebuah vihara yang memiliki Buddha Rupang besar dengan posisi tidur.

Kira – kira 1,61 km ke arah timur dari tempat Sang Buddha parinibbana, di jalan dari kasia ke deoriate terdapat Makutabandhana Cetiya atau Stupa Kremasi. Stupa ini didirikan untuk memperingati tempat dimana jasad Sang Buddha dikremasikan.

Stupa ini berdiameter 34,14 m dalam bentuk lingkaran drum, pada dasarnya berdiameter 47,25 m. Didekat Stupa ini terdapat sebuah kolam Ramabhar Jhil yang kering dimusim panas.

Keempat tempat Dhammayatra tersebut adalah tempat yang disarankan oleh Sang Buddha sendiri, namun setelah Sang Buddha parinibbana, umat Buddha berdhammayatra bukan hanya keempat tempat itu, tetapi juga ke tempat – tempat yang dipandang penting oleh Umat Buddha karena tempat – tempat itu berhubungan dengan kehidupan beliau, tempat – tempat itu antara lain :

a. Rajagaha

Rajagaha sekarang terkenal dengan nama Rajgir, Rajagaha adalah ibukota kerajaan Magadha, yang diperintah oleh Raja Bimbisara, Di kota Rajagaha ini terdapat sebuah bukit yang sangat terkenal di masa Sang Buddha, yaitu bukit Gijjhaguta atau Puncak Burung Nasar. Di puncak bukit ini Sang Buddha sering tinggal. Tidak jauh dari Rajagaha terdapat perbukitan, diantara bukit – bukit itu terdapat Goa Sattapani yaitu tempat Maha Samaya I, yang pada kesempatan itu Bhikkhu Ananda mengucapkan Sutta Pitaka.

b. Savatthi

Savathi sekarang dikenal dengan nama Saheth Maheth, merupakan reruntuhan pula, Savathi adalah ibukota kerajaan kosala, Disini terdapat Vihara Jetavana yang didirikan oleh Anathapindika. Gandhakuti yang sering disebut dalam Tipitaka berada di Vihara Jetavana, sekarang bekas Vihara dan Gandhakutimasih dapat kita temukan.

Demikian pula banyak tempat Dhammayatra lainnya seperti Nalanda, Vesali, Sankasya ( Sankisa ) adalah tempat Sang Buddha turun dari Surga Tavatimsa.

Banyak Matahari, Bumi dan Adanya Manusia Lain di bumi yang lain

Banyak Matahari, Bumi dan Adanya Manusia Lain di bumi yang lain

Adanya banyak matahari, bumi dan adanya manusia selain manusia di bumi kita ini. Hal ini disebutkan oleh Sang Buddha seperti yang terdapat dalam Ananda Vagga, Anguttara Nikaya. Untuk jelasnya pernyataan tersebut, ikutilah uraian dibawah ini.

Pada suatu ketika, Bhikkhu Ananda pergi menemui Sang Bhagava. Ketika bertemu ia menghormat Sang Bhagava, lalu duduk disamping. Setelah duduk ia berkata kepada Sang Bhagava sebagai berikut : “Bhante, Saya sendiri mendengar dari Sang Bhagava, di depan Sang Bhagava saya menerima kata – kata ini.

“Ananda, Murid Buddha Sikki bernama Abhibhu berada dialam Brahma ( Brahma Loka ) dan ia dapat menyebabkan suaranya didengar sampai sejauh seribu tata surya yang lain. Bhante, berapa jauh seribu tata surya yang lain? Bhante, berapa jauh seorang arahat sammasambuddha dapat memperdengarkan suaranya?”

“Ananda, Abhibhu masih seorang murid, Suara Tathagata adalah tidak terukur jangkauannya.”

Untuk kedua kali dan sampai ketiga kalinya, Ananda menanyakan hal tersebut, Maka Sang Bhagava menjawab :

“Ananda, apakah kau pernah mendengar tentang seribu Culanika loka dhatu ( tata surya kecil ) ?”

“Sekarang saatnya Bhagava, sekarang saatnya Sugata, bagi Sang Buddha berkata. Para Bhikkhu akan memperhatikan dengan sungguh – sungguh apa yang Sang Bhagava sabdakan”

“Maka dengarkanlah Ananda, perhatikanlah, Saya akan bicara.”

“Ya, Bhante, jawab Ananda”

Kemudian Sang Bhagava bersabda :

“Ananda, sejauh matahari dan bulan berotasi pada garis orbitnya, dan sejauh pancaran sinar matahari dan bulan di angkasa, sejauh itulah luas seribu tata surya. Didalam seribu tata surya terdapat seribu matahari, seribu bulan, seribu gunung sineru, seribu jambudipa, seribu Apara yojana, seribu Uttarakuru, seribu Pubbavidehana, empat ribu maha samudera, empat ribu maha raja, seribu Catummaharajika, seribu Tavatimsa, seribu Yamma, seribu Tusita, seribu Nimmanarati,seribu Parinimmita vassavati, dan seribu alam Brahma. Inilah Ananda, yang dianamakan seribu tata surya kecil ( Sahasi culanika lokadhatu ). Ananda seribu kali Sahasi culanika lokadhatu dinamakan Dvisahassa majjhimanika lokadhatu, Ananda seribu kali Dvisahassa majjhimanika lokadhatu dinamakan Tisahassi Mahasahassi lokadhatu. Ananda, bilamana Sang Tathagata mau, maka ia dapat memperdengarkan suaraNya sampai terdengar di Tisahassi Mahasahassi lokadhatu ataupun melebihi itu lagi.”

“Bhante, bagaimana hal itu terjadi ?”

“Ananda, dalam hal ini Sang Tathagata diliputi cahaya Tisahassi Mahasahassi lokadhatu. Bila makhluk – makhluk di tata surya itu melihat cahaya ini, maka Sang Tathagata akan berkata – kata dan suaranya dapat didengar mereka. Demikianlah hal ini terjadi.”

Setelah mendengar hal ini, Bhikkhu Ananda berkata kepada Bhikkhu Udayi. “ Suatu keuntungan bagiku, pendapatan yang baik sekali bagiku karena guruku memiliki kekuatan dan kemampuan yang hebat sekali.

Lalu Bhikkhu Udayi berkata kepada Bhikkhu Ananda : “ Avuso, Ananda, apakah manfaatnya bagimu, walaupn gurumu memiliki kekuatan dan kemampuan yang hebat seperti itu ?”

Mendengar kata – kata ini, Sang Bhagava berkata kepada Bhikkhu Udayi. “ Janganlah berkata begitu Udayi, janganlah berkata begitu !” Andaikata Ananda meninggal tanpa mencapai kebebasan, tapi dengan keyakinan teguh ini ia akan tujuh kali menguasai para dewata, tujuh kali ia akan menjadi maharaja jambudipa ini, Tetapi Udayi, pada kehidupan ini Ananda akan mencapai parinibbana. ( Ananda Vagga, Angutara Nikaya )

ALAM – ALAM KEHIDUPAN

ALAM – ALAM KEHIDUPAN

Menurut pandangan agama Buddha, bumi kita ini hanya merupakan salah satu titik kecil saja di alam semesta, dan bumi bukan merupakan satu satunya tempat kehidupan makhluk. Juga bukan hanya manusia dan binatang yang merupakan makhluk yang hidup di bumi ini. Jumlah bumi di alam semesta ini banyak sekali dan begitu pula dengan makhluk hidup. Kelahiran dapat terjadi di alam yang lain, Ada 31 alam kehidupan yang dapat menjadi tempat kelahiran kembali makhluk berdasarkan pada karma baik atau buruk dari makhluk yang bersangkutan.

Ada empat alam tak menyenangkan ( dugati ) yaitu :

1. Niraya ( Ni + Aya : tanpa kebahagiaan )
yaitu alam menyedihkan tempat makhluk makhluk menerima dan mengalami hasil dari perbuatan karma buruk. Niraya terkenal juga sebagai neraka, tetapi bukan merupakan neraka yang kekal bagi makhluk. Setelah kekuatan karma buruknya melemah maka makhluk itu dapat terlahir kembali di alam yang lebih baik atau menyenangkan sebagai akibat dari karma baik mereka yang lampau.

2. Tiracchana yoni
yaitu alam binatan, makhluk yang terlahir menjadi binatang karena adanya karma buruk. Binatang dapat terlahir kembali di alam manusia sebagai manusia karena hasil dari karma baiknya yang lampau maupun sekarang. Walaupun hidup sebagai binatang, namun ada binatang binatang tertentu ( anjing, kucing dan lain lain ) yang hidup lebih baik daripada manusia. Kehidupan yang baik dari binatang binatang tersebut karena hasil dari karma baiknya yang lampau.

3. Peta
yaitu makhluk yang tak merasakan kesenangan. Makhluk makhluk di alam peta ini adalah setan atau hantu. Peta merupakan makhluk – makhluk yang berbentuk tak sempurna masing – masing dalam keadaan mereka yang berbeda beda bentuk. Dalam Anguttara Nikaya disebutkan bahwa ada tukang jagal yang terlahir menjadi peta.

Ada empat macam peta yaitu :
1. Vantasika yaitu peta yang hidup dari muntah
2. Khuppipasika yaitu peta yang selalu lapar dan haus
3. Nijjhamatanhika yaitu peta yang selalu haus
4. Paradattupajivika yaitu peta yang hidup berdasarkan dana dari orang lain
Paradattupajivika Peta yang disebutkan dalam Tirokudda Sutta adalah peta yang bila mendapat pembagian atau kiriman jasa dari keluarganya maka ia akan dapat terlahir kembali di alam yang lebih baik atau menyenangkan.

4. Asura
yaitu alam tempat setan asura. Asura secara harfiah berarti makhluk yang tak bersinar, Asura
Merupakan merupakan makhluk yang tak bahagia seperti Peta.

Tujuh alam menyenangkan ( sugati ) yaitu :

1. Manussa
yaitu alam manusia, alam manusia merupakan alam campuran antara menyenangkan dan
menyedihkan. Para Bodhisattva memilih alam manusia sebagai alam yang tepat untuk melayani dunia dan untuk mencapai kesempurnaan menjadi Buddha, Para Buddha selalu lahir sebagai manusia.

2. Catummaharajika merupakan alam terindah dari alam surga
Alam ini merupakan alam kehidupan dari para dewa pelindung di empat penjuru bersama para pengikut mereka. Dewa pohon, Dewa bumi, Dewa angkasa dan lain lain termasuk dalam alam dewa ini.

3. Tavatimsa yaitu alam surga dari tiga puluh tiga dewa yang merupakan alam dari raja dewa sakka. Dalam alam surga ini Sang Buddha mengajarkan Abhidhamma kepada Para Dewa selama tiga bulan.

4. Yama
yaitu alam surga para Dewa Yama.

5. Tursita
yaitu alam surga menyenangkan
Biasanya Para Bodhisattva yang hampir sempurna paramita mereka hidup di alam surga ini. Alam surga ini merupakan alam terakhir bagi Bodhisattva sebelum terlahir di alam manusia sebagai manusia dan menjadi Samma Sambuddha.
Ratu Maya Devi, setelah tujuh hari melahirkan Pangeran siddartha, meninggal dunia dan terlahir di alam ini. Dari alam ini beliau ke alam surga Tavatimsa untuk mendengar Abhidhamma yang diajarkan Sang Buddha.

6. Nimmanati
yaitu alam surga dari Para Dewa yang menikmati kesenangan istana – istana yang diciptakan.

7. Paranommitavasavatti
yaitu alam surga dari Para Dewa yang menikmati ciptaan – ciptaan Para Dewa lain. Kehidupan Para Dewa di alam ini bagaikan orang yang selalu diundang ke pesta yang besar, meriah dan mewah.

Enam alam yaitu Alam Catummaharajika, Tavatimsa, Yama, Tursita, Nimmanarati dan Paranimmitavasavatti merupakan alam surga dari Para Dewa yang tubuh fisik mereka adalah lebih halus dan lebih bersih dari tubuh manusia. Tubuh Para Dewa tak dapat dilihat oleh mata fisik manusia biasa. Makhluk di alam alam surga ini pada suatu saat akan meninggal atau lenyap dari alamnya masing masing. Walaupun kehidupan Para Dewa di alam surga lebih menyenangkan atau melebihi kehidupan manusia, namun kesucian dan kebijaksanaannya belum tentu melampaui kesucian dan kebijaksanaan manusia.

Makhluk – makhluk yang terlahir di alam ini berdasarkan karma baik mereka seperti melaksanakan dana, sila dan perbuatan karma baik lain. Tapi bila karma baik mereka telah habis dan tak sempat mengembangkan batin dengan belajar dan melaksanakan dhamma maka Para Dewa akan menemui ajal dan terlahir kembali di alam Dewa yang lebih rendah atau di alam manusia.

Empat alam tak menyenangkan ( dugati ) dan tujuh alam menyenangkan ( sugati ) di klasifikasikan sebagai alam nafsu ( kamaloka ) karena dalam sebelas alam ini, nafsu keinginan sangat kuat.
Lebih tinggi dari alam nafsu ( kamaloka ) adalah alam – alam Brahma atau rupa loka ( alam bentuk ) dimana makhluk makhluk menikmati kesenangan jhana yang dihasilkan oleh meditasi. Makhluk makhluk di alam alam ini tak memiliki nafsu inderiya dan mereka pun tak memiliki kelamin.

Rupaloka terdiri dari 16 alam dibagi sesuai dengan tingkat jhana yang dicapai yaitu :

Alam jhana pertama
1. Brahma Parisajja – Alam Pengikut Brahma
2. Brahma Purohita – Alam Para Menteri Brahma
3. Maha Brahma – Alam Maha Brahma

Alam alam ini dicapai oleh seseorang apabila ia meninggal pada saat berada dalam meditasi dan
Mencapai jhana I. Jika jhana I kuat sekali maka ia terlahir di alam Maha Brahma apabila sedang
Akan terlahir di alam Brahma Purohita dan seterusnya. Dari ketiga alam jhana I ini, Maha Brahma
Melebihi kedua alam lain dalam hal kebahagiaan, keindahan dan batas manusia.

Alam jhana kedua
4. Parittabha – Alam Brahma Cahaya Kecil
5. Appamanbha – Alam Brahma Cahaya Tanpa Batas
6. Abhassara – Alam Brahma Gemerlapan

Alam jhana ketiga
7. Parittasubha – Alam Brahma Aura Kecil
8. Appamanasubha – Alam Brahma Aura Tanpa batas
9. Subhakinha – Alam Brahma Aura Tetap

Alam jhana keempat
10. vehapphala – Alam Brahma Pahala Besar
11. Asannasatta – Alam Brahma Tanpa Pikiran
Dikatakan bahwa bila pada makhluk Asannasatta muncul pikiran maka Ia lenyap dari alam ini dan terlahir di alam lain.

Lima alam berikut disebut alam Suddhavasa atau alam kediaman suci yaitu :
12. Aviha
13. Atappa
14. Sudassa
15. Sudassi
16. Akanittha

Makhluk yang dapat terlahir di lima alam suddhavassa ini hanya para Anagami, yaitu Para Anagami yang tak melaksanakan meditasi atau yang tak meninggal pada saat berada dalam jhana I, II, III atau IV. Jika Anagami berada dalam jhana maka ia akan terlahirdi alam sesuai dengan jhana yang dicapainya. Orang biasa, sotapana maupun sakadagami yang telah mencapai jhana keempat tidak dapat terlahir kembali di salah satu alam Suddhavassa ini, kecuali di alam Vehapphala atau Asannasatta. Anagami yang mencapai jhana IV dan meninggal pada saat berada dalam jhana ke IV akan terlahir kembali di alam Vehapphala atau alam Asannasatta.

Disamping alam betuk ( Rupaloka) ada alam tanpa bentuk ( Arupaloka). Alam Arupa adalah alam tanpa jasmani, dalam Arupaloka tidak ada kelamin. Alam ini dicapai setelah seseorang sukses dengan Rupa jhana. Arupaloka terdiri dari empat alam yaitu :

17. Akasanancayatana – Alam Ruang Tanpa Batas
18. Vinnanancayatana – Alam Kesadaran Tanpa Batas
19. Akincanacayatana – Alam Kekosongan
20. N’eva Sanna na sanayatana – Alam Bukan Ide maupun Bukan Tidak Ide

Makhluk – makhluk yang belum melenyapkan semua kekotoran batinnya akan terlahir kembali di salah satu dari 31 alam berdasarkan pada perbuatannya. Bagi Para Arahat atau Buddha yang telah melenyapkan semua kekotoran batin, bila mereka meninggal dunia tidak akan terlahir kembali di salah satu dari 31 alam. Ketika Para Arahat dan Para Buddha meninggal, mereka Parinibbana atau mencapai nirvana secara total.

Buddha Yang Akan Datang

Buddha Yang Akan Datang
Posted on November 6, 2008 by whitelotuzz

Dalam Sutta Pitaka Dhiga Nikaya, Sang Buddha menceritakan pada zaman dahulu ada seorang maharaja dunia ( Cakkavatti ) yang bernama Dalhanemi, memerintah dengan bijaksana, jujur dan adil. Pada saat itu umur manusia mencapai 80.000 tahun. Demikian pula keturunannya Raja Cakkavatti kedua hingga ketujuh. Namun pada saat pemerintahan raja kedelapan, kebijaksanaannya berkurang sehingga rakyatnya mulai merasakan kemiskinan sehingga terjadi pencurian dan pembunuhan. Sejak itu umur manusia berkurang menjadi 40.000 tahun lalu 20.000 tahun dan lama kelamaan menjadi 100 tahun seperti sekarang ini. Kelak akan tiba suatu masa ketika manusia hanya berusia 10 tahun dan umur 5 tahun merupakan usia perkawinan. Pada saat itu makanan seperti dadi susu, mentega, minyak tila, gula dan garam akan lenyap. Mereka akan memakan biji – bijian kudrusa.



Pada saat itu tidak ada lagi perbuatan baik, yang ada hanya kejahatan, mereka akan kawin dengan siapa saja, bagaikan hewan. Mereka membunuh siapa saja termasuk ibu, bapak atau kakaknya. Pada saat itu akan muncul pedang selama seminggu. Mereka akan melihat individu lain sebagai binatang liar. Dan pedang tajam akan selalu tersedia ditangan mereka, lalu dengan pedang itu mereka saling membunuh. Sementara itu ada orang – orang tertentu yang sadar dan menyembunyikan diri ke hutan, gua – gua gunung dan hidup dengan akar – akar dan buah – buahan. Mereka akan melaksanakan hal itu selama seminggu dan pada hari ketujuh mereka keluar dengan selamat.



Sejak itu mereka mulai menanam kebajikan, sehingga lama – kelamaan umur mereka bertambah menjadi 20 tahun, 40 ,60, 80 dan akhirnya mencapai batas usia 80.000 tahun. Pada saat itu akan muncul seorang raja bernama Sankha yang jujur dan bijaksana, dan akan muncul seorang Bhagava Arahat Sammasam Buddha bernama Metteya ( Maitreya ) yang sempurna bagaikan Buddha Gautama.

PATICCASAMUPADA


PATICCASAMUPADA

DALAM Kitab Suci Tipitaka (Pali) banyak ditulis saat-saat ketika pertapa Gotama berhasil memahami Hukum Sebab Musabab Yang Saling Bergantungan, sehingga akhirnya Beliau berhasil mencapai Penerangan Sempurna (Sammasam-Buddha). Akan. tetapi hal yang terpenting adalah proses pemahaman "hukum" itu sendiri yang terjadi sesaat sebelum pencapaian Penerangan Sempurna. Para Buddha telah mencapai Penerangan Sempuma mereka melalui proses ini.

Kata "Paticcasamuppada" mempunyai arti : Sebab Musabab Yang Saling Bergantungan atau timbul karena kondisi-kondisi yang saling bergantungan.

Paticcasamuppada ini adalah untuk memperlihatkan kebenaran dari keadaan yang sebenarnya, dimana tidak ada sesuatu itu timbul tanpa sebab. Bila kita mempelajari Hukum Paticcasamuppada ini dengan sungguh-sungguh, kita akan terbebas dan pandangan salah dan dapat melihat hidup dan kehidupan ini dengan sewajarnya.

Paticcasamuppada ini adalah merupakan obyek dasar dari Vipassana Bhavana termasuk salah satu obyek dari keenam obyek dasar Vipassana Bhavana, yaitu :

  1. Khadha 5/Pancakkhandha
  2. Dhatu 18
  3. Ayatana 12
  4. Indriya 22
  5. Paticcasamuppada
  6. Ariya Sacca/Cattari Ariya Saccani

Paticcasamuppada ada 12 faktor sebagai berikut :

  1. Avijja paccaya sankhara : Dengan adanya Avijja (kebodohan bathin) maka muncullah Sankhara (bentuk-bentuk karma).
  2. Sankhara paccaya vinnanam : Dengan adanya Sankhara (bentuk-bentuk karma) maka muncullah Vinnana (kesadaran).
  3. Vinnana paccaya nama-rupam : Dengan adanya Vinnana (kesadaran) maka muncullah Nama-Rupa (bathin jasmani).
  4. Nama-Rupa paccaya salayatanam : Dengan adanya Nama-Rupa (bathin-jasmani) maka muncullah Salayatana (enam landasan indera).
  5. Salayatana paccaya phasso : Dengan adanya Salayatana (enam landasan indera) maka muncullah Phassa (kesan-kesan/kontak).
  6. Phassa paccaya vedana : Dengan adanya Phassa (kesan-kesan kontak) maka muncullah Vedana (perasaan).
  7. Vedana paccaya tanha : Dengan adanya Vedana (perasaan) maka muncullah Tanha (keinginan rendah).
  8. Tanha paccaya upadanam : Dengan adanya Tanha (keinginan rendah), maka muncullah Upadana (kemelekatan)
  9. Upadanna paccaya bhavo : Dengan adanya Upadana (kemelekatan) maka muncullah Bhava (penjadian).
  10. Bhava paccaya jati : Dengan adanya Bhava (penjadian) maka muncullah Jati (kelahiran).
  11. Jati paccaya jara-maranam : Dengan adanya Jati (kelahiran) maka muncullah Jara (ketuaan) dan Marana (kematian).

Arti secara terperinci dari Paticcasamuppada 12, yaitu :

  1. Avijja (Pali) atau Avidya (Sansekerta), berarti kegelapan bathin atau kebodohan bathin, karena tidak menembus Empat Kesunyataan Suci, sehingga orang terus-menerus berpegangan kepada kepercayaan tentang adanya "diri yang kekal" atau "aku yang kekal" dan terpisah. Dengan itu orang terns melakukan,dan mengikatkan dirinya pada perbuatan-perbuatannya yang baik atau yang jahat, sehingga ia tumimbal-lahir terus-menerus.
  2. Sankhara, berarti bentuk-bentuk bathin yang mernpakan kehendak (cetana) yang membabar dalam perbuatan, perkataan dan pikiran, yang juga dapat disebut bentukbentuk karma.
  3. Vinnana, berarti kesadaran, yang dimaksudkan adalah kesadaran yang merupakan akibat (vipaka) dari bentuk-bentuk karma (sankhara) yang baik atau yang jahat. Kesadaran ini disebut "patisandhivinnana" atau kesadaran yang bertumimbal lahir pada suatu bentuk kehidupan baru.
  4. Nama-Rupa, berarti bathin danjasmani. Dengan bathin disini hanya dimaksudkan tiga Khandha (kelompok kehidupan), yaitu : vedana (perasaan), sanna (pencerapan) dan sankhara (bentuk bathin). Sedangkan vinnana (kesadaran) tidak termasuk, karena merupakan dasar syarat bagi pertumbuhan Nama-Rupa (bathinjasmani). Tetapi, jika tidak berhubungan dengan Paticcasamuppada, maka yang disebut Nama (Bathin) selalu terdiri dari empat khandha, yaitu vedana (perasaan), sanna (pencerapan), sankhara (bentuk bathin) dan vinnana (kesadaran).

JADINYA BERBEDA PENGERTIAN SINGKATAN NAMA-RUPA DALAM PANCAKKHANDHA
DENGAN NAMA-RUPA DALAM PATICCASSAMUPPADA.

  1. Salayatana, berarti enam landasan indera (mata, telinga, hidung, lidah, jasmani dan pikiran). Enam Landasan Indera ini muncul berbarengan dan bersama dengan Nama-Rupa (Bathin-Jasmani). Enam Landasan Indera ini merupakan akibat (vipaka) karma dari kehidupan yang lampau.
  2. Phassa, berarti kesan-kesan/kontak, yaitu :
    1. kesan/kontak mata
    2. kesan/kontak telingga
    3. kesan/kontak hidung
    4. kesan/kontak lidah
    5. kesan/kontak jasmani
    6. kesan/kontak pikiran
  3. Vedana, berarti perasaan. Perasaan yang muncul dari kesan-kesan : mata, telinga, hidung, lidah, jasmani dan pikiran.
  4. Tanha, berarti keinginan rendah atau kehausan yang tak habis-habisnya, mencari kepuasan di sana-sini. Terdapat tiga macam Tanha, yaitu :

a. Kama-tanha, ialah kehausan terhadap kesenangan-kesenangan indera yaitu kehausan pada :

a. bentuk yang indah

b. suara yang merdu

c. bau yang wangi semerbak

d. rasa yang enak dan nikmat

e. sentuhan yang empuk dan halus

f. bentuk-bentuk bathin yang menyenangkan

b. Bhava-tanha, ialah kehausan untuk menjelma berdasarkan kepercayaan tentang adanya "aku" yang kekal dan terpisah (attavada).

c. Vibhava-tanha, ialah kehausan untuk memusnahkan diri berdasarkan kepercayaan yang salah, yang menganggap bahwa setelah mati tamatlah atau habislah riwayat tiap manusia/makhluk (ucchedavada).

Upadana, ialah kemelekatan, yang terdiri dari 4 macam, yaitu :

. Kamupadana, ialah kemelekatan pada bentuk, suara, bau, rasa, sentuhan dan kesan pikiran. Atau kemelekatan pada kesenangan indera.

a. Ditthupadana, ialah kemelekatan pada pandangan yang salah, yaitu : yang benar dikatakan salah, yang baik dikatakan buruk, yang berguna dikatakan tidak berguna dan lain-Iainnya.

b. Silabbatupadana, ialah kemelekatan pada upacara agama, yang menganggap bahwa upacara agama dapat menghasilkan kesucian.

c. Attavadupadana, ialah kemelekatan pada kepercayaan tentang adanya "aku" atau "atta" yang kekal dan terpisah.

Bhava, ialah proses dumadi, yang terdiri dari dua macam, yaitu :

. Kammabhava, ialah proses kamma yaitu munculnya bentuk -bentuk karma yang menyebabkan tumimbal lahir.

a. Upattibhava, ialah proses tumimbal-Iahir, yaitu buah-buah kamma yang lalu (vipaka-kamma).

Jati, ialah kelahiran yaitu munculnya kelima khandha (pancakhandha).

Jara-marana, ialah ketuaan dan kematian, yang merupakan rangkaian penderitaan, seperti kesakitan, susah hati, kesedihan, ratap tangis, putus asa, kecewa, kematian dan lain-Iainnya.

Patticcasamuppada ini terbagi 7 (tujuh) bagian yaitu :

. Tayo-addha : 3 masa.

a. Dvadasafigani : 12 faktor

b. Visatakara : 20 cara

c. Tisandhi : 3 hubungan

d. Catusankhepa : 4 hubungan

e. Tini-Vattani : 3 lingkaran

f. Dve-mulani : 2 akar

Penjelasan :

  1. Tayo-Addha adalah 3 masa, yaitu Avijja dan Sankhara faktor ini termasuk Atita-Addha (masa yang lampau). Jati dan Jara-marana 2 faktor ini termasuk Anagata addha (masa yang akan datang). Sedangkan selebihnya dibagian tengah ada 8 faktor (vinnana, nama-rupa, salayatana, phassa, vedana, tanha, upadana dan bhava) termasuk Paccuppanna-addha (masa yang sekarang)
  2. Dvadasangani adalah 12 faktor, yaitu Avijja, Sankhara, Vinnana, Nama-Rupa, Salayatana, Phassa, Vedana, Tanha, Upadana, Bhava, Jati dan Jara marana.
  3. Visatakara adalah 20 cara, yaitu :
    1. Keadaan yang menjadi sebab yang lampau (atitahetu) ada 5 faktor, yaitu Avijja, Sankhara, Tanha, Upadana dan Bhava.
    2. Keadaan yang menjadi akibat yang sekarang (paccuppanna-phala) ada 5 faktor yaitu, Vinnana, Nama-Rupa, Salayatana, Phassa dan Vedana.
    3. Keadaan yang menjadi sebab yang sekarang (paccuppanna-hetu) ada 5 faktor, yaitu Tanha, Upadana, Bhava, Avijja dan Sankhara.
    4. Keadaan yang menjadi akibat yang akan datang (anagata-phala) ada 5 faktor, yaitu Vinnana, Nama Rupa, Salayatana, Phassa dan Vedana.
  4. Tisandhi adalah 3 hubungan, yaitu Sankhara dengan Vinnana menjadi 1 hubungan, Vedana dengan Tanha menjadi 1 hubungan Bhava dengan Jati menjadi 1 hubungan.
  5. Catusankhepa adalah 4 bagian, yaitu :
    1. Avijja dan Sankhara jumlah 2 faktor ini menjadi 1 bagian.
    2. Vinna, Nama-Rupa, Salayatana, Phassa dan Vedana jumlah 5 faktor ini menjadi 1 bagian.
    3. Tanha, Upadana dan Bhava jumlah 3 faktor ini menjadi 1 bagian.
    4. Jati dan Jara-marana jumlah 2 faktor ini menjadi 1 bagian.
  6. Tini-Vattani adalah 3 lingkaran, yaitu :
    1. Avijja, Tanha dan Upadana jumlah 3 faktor ini menjadi Kilesa-Vatta.
    2. Sankhara dan Bhava (khusus Kamma-Bhava) jumlah 2 faktor ini menjadi Kamma-Vatta.
    3. Vinnana, Nama-Rupa, Salayatana, Phassa, Vedana dan Bhava (khusus Uppati-Bhava), Jati dan Jaramarana jumlah 8 faktor ini menjadi Vipaka- Vatta.
  7. Dvemulani adalah 2 akar, yaitu Avijja dan Tanha.

Rumusan keseluruhan hukum Paticcasamuppada itu diringkaskan sebagai berikut :

"Dengan adanya ini, adalah itu, dengan timbulnya ini timbullah itu. Dengan tidak adanya ini, tidak adalah itu, dengan lenyapnya ini, lenyaplah itu".