Selasa, 14 Juli 2009

Sikap Umat Buddha Terhadap Era Globalisasi

Sikap Umat Buddha Terhadap Era Globalisasi Cetak E-mail

Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammāsambuddhassa

Uṭṭhāīnavato satimato, Sucikammassa nisammakāīrino

Saññatassa ca dhammajīvino, Appamattassa yaso bhivaóóhati

Tabah dan penuh perhatian, suci dalam setiap perbuatan, hati-hati dalam setiap tingkah laku,

mengendalikan diri dengan baik, dan hidup secara benar,

maka orang yang selalu sadar ini akan maju dengan cepat.

(Dhammapada 2:4)

Sikap umat Buddha terhadap era globalisasi bukanlah menutup diri, melainkan yang paling tepat adalah membuka diri dalam arti siap beradaptasi, meskipun keterbukaan diri bukan berarti dengan begitu saja umat Buddha menerima segala sesuatu yang ditawarkan. Keterbukaan diri tersebut tentunya memerlukan suatu persiapan diri yang boleh dikatakan sebagai kemampuan diri tertentu. Kemampuan diri ini sangat penting dalam rangka penyesuaian hidup seseorang terhadap perkembangan era globalisasi untuk mewujudkan kehidupan yang diharapkan.

Buddha Gotama mengutarakan dalam Aṅguttara Nikāya III, 127 perihal lima ajaran yang perlu dikembangkan dalam diri kita masing-masing, terutama dalam kaitannya untuk menimbulkan kemampuan diri sendiri yang berkualitas. Lima ajaran Buddha Gotama itu dikenal dengan sebutan Lima Vesarajjakammatthana, yang terdiri dari:

1. Saddhā: keyakinan dalam hal-hal yang perlu diyakini.

Keyakinan tidak boleh diabaikan, bahkan ditinggalkan begitu saja. Krisis keyakinan, bahkan tuna keyakinan merupakan wujud dari penyempitan dan pemiskinan wawasan agama seseorang. Keyakinan Dhamma dapat diperoleh melalui jalur pengertian (pariyatti), pengamalan (paṭipatti), dan penembusan/hasil praktik (paṭivedha) Dhamma itu sendiri. Oleh karena itu, setiap umat Buddha hendaknya memacu dirinya sendiri untuk lebih banyak menekuni tiga jalur tersebut di atas. Kiranya perlu diperhatikan juga oleh umat Buddha bahwasanya Dhamma tidak berada di luar wilayah hidup dan kehidupan kita. Janganlah umat Buddha memiliki pandangan bahwa Dhamma berada di luar bentuk aktivitas kehidupan kita, atau Dhamma itu hanya terdapat dalam vihara / tempat ibadah saja, meskipun dalam kehidupan sehari-hari hendaknya Dhamma dibawa serta.

2. Sīla: pengendalian diri sesuai dengan norma kebenaran.

Umat Buddha hendaknya melatih mengendalikan diri sesuai dengan Dhamma, sebab latihan itu sendiri merupakan wujud identitas kehidupan beragama Buddha. Pengendalian diri merupakan pengejawantahan dari mawas diri serta kewaspadaan. Banyak orang lupa diri dan tidak waspada sehingga ia sukar untuk mengendalikan dirinya sendiri. Pengendalian diri tidak hanya berlaku pada Sang Buddha, pada jaman atau masa sepanjang hidup manusia, pengendalian diri sesuai dengan norma kebenaran sebenarnya merupakan upaya manusia untuk meraih sesuatu kehidupan yang bernilai tinggi. Demikian pula kehidupan manusia jaman modern seperti sekarang ini, akan mempunyai nilai tinggi apabila ia mampu mengendalikan diri sesuai dengan norma kebenaran. Sebaliknya, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi akan menghancurkan hidup manusia itu sendiri apabila manusia tidak lagi peduli dengan pengendalian dirinya.

3. Bāhusacca: berpengetahuan luas.

Kehidupan jaman sekarang menuntut pengenalan dan pengetahuan yang lebih luas, bahkan mendalam perihal berbagai ilmu. Makin luas pengetahuan yang diperoleh, makin siap diri dalam mengikuti perkembangan jaman. Umat Buddha tentunya tidak boleh tertinggal mendalami ilmu pengetahuan dan teknologi tepat guna, sebab kedalaman pengetahuan terhadap hal-hal itu akan memperkaya diri sendiri untuk memenuhi kebutuhan dalam dimensi fisik maupun sosial yang tak terelakkan.

4. Viryārambha: rajin dan bersemangat.

Kemajuan perkembangan dunia modern menuntut sikap tepat waktu, efisien dan efektif dalam penggunaan, berani bersaing dan berkorban, semua hal itu memerlukan sikap rajin dan bersemangat. Umat Buddha yang rajin dan bersemangat akan mendapatkan bahwa karakter diri seperti itu merupakan syarat-syarat yang diperlukan bagi tumbuh dan berkembangnya beberapa hal positif tersebut di atas yang merupakan ciri-ciri dari perkembangan dunia modern.

5. Paññā: pengertian dan pikiran benar.

Kehidupan manusia modern dapat memacu timbulnya pengertian dan pikiran yang tidak sesuai dengan ajaran Buddha. Pemujaan terhadap kekuasaan materi yang berlebihan akan menjadikan pandangan/prinsip hidup seseorang tidak lagi memanusiakan manusia. Manusia lalu diubah statusnya dari makhluk hidup menjadi materi hidup. Umat Buddha diharapkan jangan sampai terperosok pada pandangan yang salah terhadap hidup dan kehidupan pada saat masuk dalam kancah era globalisasi. Pengertian dan pikiran tentang hidup sebagaimana apa adanya pada hidup itu merupakan sikap yang paling tepat dalam hal ini.

Pemahaman apa adanya mengungkapkan keberadaan dari segala sesuatu yang terdapat dalam hidup itu sendiri, yang selalu berubah (anicca), tidak memuaskan (dukkha), dan tanpa substansi/inti kekal (anatta) merupakan sikap diri yang benar untuk memperoleh kebebasan diri dan kebahagiaan hidup.

Kemajuan dunia modern menuntut wawasan yang lebih luas, lebih lengkap, dan lebih dewasa tanpa harus kehilangan identitas/jati diri kita. Perlindungan kepada Dhamma merupakan ’Sahabat Sejati’ bagi kehidupan umat Buddha dalam era globalisasi yang diwarnai perubahan berbagai hal, baik segi fisik, sosial, maupun ideal. Dhamma hendaknya dijadikan tolok ukur penyesuaian diri yang benar-benar dapat meningkatkan harkat dan martabat manusia.

Buddha Dhamma memuat ajaran ’Jalan Tengah’ dalam hal meraih kemajuan di tengah-tengah kehidupan kita sehari-hari; ajaran itu menekankan perkembangan kemajuan segi fisik maupun mental, sehingga kemajuan materi jangan sampai menomorduakan kemajuan batin. Oleh karena itu, manusia ideal hendaknya memperhatikan empat macam kemajuan: fisik, sosial, mental, dan intelektual secara seimbang.

Oleh: Bhikkhu Cittānando Thera

(01 Maret 2009)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar