Selasa, 14 Juli 2009

Kekerasan dalam Rumah Tangga dan Tanggung Jawab Orangtua

Kekerasan dalam Rumah Tangga dan Tanggung Jawab Orangtua Cetak E-mail

Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammāsambuddhassa

Baik berita di televisi maupun surat kabar, makin banyak tersiar adanya kekerasan dalam rumah tangga. Pelaku kekerasan dalam rumah tangga biasanya dilakukan oleh sang suami, namun ada pula yang didalangi oleh sang istri. Bagaimanapun peristiwa kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi, korban sesungguhnya adalah anak-anak mereka sendiri. Kehidupan anak-anak mereka di kemudian hari akan menjadi serba ketakutan dan tumbuh dengan pikiran yang diracuni dengan kekerasan.

Bagaimana nasib anak-anak yang hidupnya di tengah-tengah kekerasan keluarga? Batin mereka selalu diliputi ketakutan dan kekhawatiran. Contoh kekerasan yang disodorkan orangtua, secara tidak logis mendoktrinasi pikiran bawah sadar anak. Rekaman kekerasan ini nantinya akan menjadi cerminan kehidupan mereka di masa depan, terutama saat mereka berumah tangga dan mendidik anaknya.

Orangtua bertanggung jawab atas kesejahteraan lahir batin anaknya. Jika anak tumbuh menjadi orang yang kuat dan berguna, maka itu adalah hasil usaha orangtua. Sedangkan jika anak tumbuh menjadi orang yang menyusahkan maka orangtua harus bertanggung jawab. Pada masa pertumbuhannya, anak memerlukan kasih sayang, perawatan, dan perhatian orangtua. Tanpa kasih sayang dan bimbingan orangtua, anak akan menjadi cacat secara emosional dan dunia akan menjadi tempat yang tak bersahabat baginya untuk hidup.

Melimpahkan kasih sayang bukan berarti memenuhi segala keinginan anak, baik yang perlu maupun yang tidak masuk akal. Kasih sayang harus diberikan dengan sikap tegas tetapi lembut dalam menghadapi anaknya yang ”ngambek”. Anak tidak hanya memerlukan pemenuhan kebutuhan material, kuncinya pada kebutuhan rohani dan mental. Berdasarkan prioritas perhatian dan kasih sayang pada anak, maka mereka akan tumbuh menjadi orang yang berguna, jauh dari masalah mental dan moral.

Umumnya kekerasan dalam rumah tangga terjadi disebabkan suami dan istri tidak memahami tanggung jawabnya masing-masing dalam keluarga. Bila suami dan istri memahami tanggung jawabnya maka akan tercipta rasa saling pengertian. Kekerasan dalam rumah tangga terpicu oleh kesalahpahaman yang kemudian diwujudkan dalam tindakan. Hal ini menunjukkan kurangnya pengendalian diri. Orang yang dipenuhi kemarahan tidak dapat melihat dengan jelas bagai dibutakan oleh asap. Jika orang memperlihatkan kebencian akan membawa penderitaan bagi diri sendiri. Karena orang yang sering dirasuki kemarahan dan kebencian, ibaratnya sedang mengeluarkan racun dari dalam dirinya dan akan lebih melukai dirinya sendiri daripada orang lain.

Kekerasan dalam rumah tangga dapat diakhiri dengan belajar untuk mengerti peran masing-masing dalam kehidupan berkeluarga dan belajar untuk bersabar terhadap segala sesuatu. Kemarahan atau kebencian akan menuntun seseorang menuju rimba yang tidak memiliki jalan setapak untuk dilalui. Kemarahan atau kebencian tidak hanya mengganggu orang lain melainkan juga melukai dirinya sendiri dan melemahkan jasmani serta mengganggu pikirannya. Kata-kata kasar yang kita lontarkan ibarat anak panah yang dilepaskan dari busurnya tidak akan dapat ditarik kembali walaupun kita persembahkan seribu permohonan maaf untuk itu.

Saat kemarahan membelenggu berarti kita sedang bertempur dengan diri sendiri karena diri sendiri adalah musuh terbesar kita. Semua berakar dari pikiran yang merupakan teman terbaik sekaligus musuh terjahat kita. Oleh karena itu, kita harus mencoba dan terus berlatih membunuh hawa nafsu, kebencian, dan kebodohan yang terpendam dalam pikiran kita dengan menggunakan kesusilaan, pemusatan pikiran serta kebijaksanaan.

Dengan pengendalian hawa nafsu, maka berbagai penderitaan batin seperti dendam, kebencian, serta iri hati akan pupus detik demi detik. Pupusnya penderitaan tersebut akan memberikan kedamaian hidup.

”Barang siapa berbuat jahat terhadap orang baik, orang suci, dan orang yang tidak bersalah, maka kejahatan akan berbalik menimpa orang bodoh itu, bagaikan debu yang dilempar melawan angin.”

(Dhammapada IX:10)

Oleh: Bhikkhu Tejapuñño

(27 Mei 2007)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar