Mengapa Kita Dilahirkan? |
Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammāsambuddhassa ”Yāyaṁ taṇhā ponobbhavikā nandirāga-sahagatā tatra tatrā-bhinandinī’ti” Kesenangan (taṇha) inilah, yang membuat kelahiran kembali, yang disertai dengan hawa nafsu dan kegemaran, yang menggemari obyek di sana-sini. (Dhammacakkappavattana Sutta) Banyak sekali orang berpendapat bahwa Dhamma, ajaran Sang Buddha tidak memberikan jawaban yang tepat, terutama mengenai masalah ”mengapa kita dilahirkan?” Jika kita mempelajari Dhamma lebih dalam lagi, maka kita akan menemukan penjelasan bahwa kelahiran itu adalah karena kehendak kita sendiri. Setelah menemukan jawaban ini, maka akan timbul pertanyaan lagi, ”mengapa kita mau dilahirkan?” Jawabannya, tidak lain dan tidak bukan adalah karena kita masih memiliki keinginan (taṇha) untuk dilahirkan kembali. Berbicara mengenai masalah kelahiran, terlebih dahulu kita harus mengetahui landasan pokok apa yang membentuk ”hidup” manusia. Misalnya, landasan pokok yang menggerakkan kehidupan pujangga Inggris, Shakespeare, adalah cita-cita dan keinginannya untuk menggambarkan watak-watak manusia, serta mengungkapkan perasaan cinta kasih yang halus dalam karya-karya sastranya. Sedangkan kehidupan Napoleon Bonaparte didorong oleh keinginan untuk berkuasa dan mendirikan kerajaan Perancis yang kuat. Akan tetapi, berdasarkan catatan mengenai Riwayat Hidup Sang Buddha, kita dapat menyimpulkan bahwa landasan pokoknya adalah untuk menaklukkan dukkha. Kehidupan kita dibentuk oleh keinginan-keinginan yang khas disertai dengan usaha-usaha untuk mencapainya. Proses kehidupan akan berlangsung terus selama keinginan atau landasan yang menggerakkannya itu masih ada. Kematian bukan merupakan akhir dari semuanya, tetapi hanya sekadar perubahan dalam kehidupan, akan tetapi proses kehidupan tetap berlanjut bahkan sesudah mati. Hal inilah yang dimaksud dengan Taṇhā Ponobbhavikā, yaitu keinginan yang menjadi sebab-musabab kelahiran kembali. Dalam Buddha Dhamma, asal-mula dukkha adalah keinginan rendah (taṇha), yang menyebabkan kelahiran berulang-ulang bersama dengan hawa nafsu dan kegemaran, yang menggemari obyek di sana-sini (ponobbhavikā nandirāga-sahagatā tatra tatrā-bhinandinī), yang terdiri dari: 1. Keinginan akan nafsu indria (kāmataṇhā) 2. Keinginan akan penjelmaan (bhavataṇhā) 3. Keinginan akan pemusnahan diri (vibhavataṇhā) Sang Buddha mengumpamakan keinginan seperti api yang berkobar-kobar. Api keinginan ini terus-menerus menyala karena diberi umpan makanan, berupa perbuatan-perbuatan kita yang jahat (akusala). Makin banyak kejahatan yang diperbuat, makin berkobar nyala api keinginan itu. Selanjutnya kita perlu mengetahui empat macam makanan (āhāra) dalam pengertian sebab atau kondisi yang diperlukan untuk kelangsungan makhluk-makhluk, yaitu: 1. Makanan material (kavaḷiṅ-kāhāra) 2. Kontak dari enam indria kita dalam menyentuh obyek (phas-sāhāra) 3. Kehendak batin yang menimbulkan perkataan dan perbuatan (manosañcetanāhāra) 4. Kesadaran yang menimbulkan batin dan jasmani (viññāṇāhāra) Makanan yang keempat merupakan kehendak untuk kehidupan, kelahiran kembali, keberlangsungan, dan untuk menjadi lebih sempurna. Makanan menciptakan akar dari kelahiran dan kelangsungan yang bergerak maju dengan perbuatan-perbuatan yang baik maupun yang buruk. Setelah mengetahui bahwa kita dilahirkan adalah karena keinginan kita sendiri, dan sekarang kita terlahir sebagai manusia, lalu apa yang harus kita perbuat dalam hidup ini? Dalam Dhamma dijelaskan bahwa terlahir sebagai manusia adalah suatu keberuntungan. Jadi, jangan sia-siakan, janganlah bersenang-senang ataupun berhura-hura yang sama sekali tidak ada manfaatnya. Kita dianjurkan untuk mengisi kehidupan yang singkat ini dengan berbuat baik sebanyak mungkin. Dengan demikian, kita tidak menyia-nyiakan kelahiran kita sebagai manusia dalam kehidupan ini. Perlu kita ingat, bahwa kehidupan ini tidak pasti, setiap saat selalu mengalami perubahan. Ada peribahasa mengatakan ’sedia payung sebelum hujan’, hal ini dapat diartikan bahwa selagi kita masih sehat, kuat, bahkan memiliki materi yang lumayan, kita harus menggunakannya untuk berbuat baik, seperti membantu atau menolong orang yang mengalami kesusahan. Demikian juga, moralitas dan pengembangan batin harus dilaksanakan pula. Apabila kita bisa melaksanakan ketiga hal tersebut, maka kita telah memiliki simpanan harta kebajikan yang amat berharga. Sebagian orang sudah pernah melakukan, yaitu jika ada orang lain atau sanak saudara mereka pindah alam, mereka melakukan doa kepada orang yang meninggalkannya itu, harapannya dari ritual doa itu adalah agar bisa terlahir di alam bahagia atau surga. Dalam Aṅguttara Nikāya, dijelaskan bahwa kita terlahir kembali karena perbuatan kita sendiri. Jadi, seseorang dapat terlahir kembali di alam surga, neraka, atau alam manapun, semuanya disebabkan oleh perbuatan orang itu sendiri. Kesimpulan Kita dilahirkan karena kehendak/kemauan kita sendiri, oleh karena itu marilah kita isi kehidupan ini dengan banyak berbuat kebajikan, antara lain dengan membantu atau menolong orang lain, melaksanakan sila, dan mengembangkan batin (meditasi). Dengan cara demikianlah, kita baru dapat dikatakan hidup sesuai Dhamma. Sabbe Sattā Bhavantu Sukhitattā. Oleh: Bhikkhu Chandaviro (02 Desember 2007) |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar