Dua Macam Kebahagiaan |
Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammāsambuddhassa Ada dua macam kebahagiaan, O para bhikkhu. Kebahagiaan jasmaniah dan kebahagiaan batiniah - kebahagiaan batiniah adalah yang lebih tinggi. Gradual Sayings (Aṅguttara Nikāya) I, 74 Dalam Dhamma ajaran Sang Buddha, dikenal adanya dua macam kebahagiaan. Dua macam kebahagiaan ini diinginkan oleh setiap orang. Tidak ada satu orang pun yang tidak menginginkannya. Setiap dari kita berusaha mencari dan mendapatkan dua macam kebahagiaan ini. ”Apakah kebahagiaan yang pertama itu?” Kebahagiaan yang pertama adalah kebahagiaan materi. Di mana kita ketahui, materi memang dapat memberikan suka cita, kegembiraan, dan kebahagiaan. Tetapi, jika kita menganggap hanya materi yang merupakan sebab dari kebahagiaan, bukan yang lain, maka hal ini dapat menyebabkan materi menjadi hal yang utama bagi kita sebagai faktor penentu kebahagiaan. Karena tolak ukurnya demikian, mungkin saja kita akan merasa begitu kecil, di tengah kemajuan dunia saat ini. Seandainya kita tidak bisa mengikuti kemajuan dunia modern saat ini yang dipenuhi oleh gemerlap materi, maka tidak dapat dipungkiri, bila kita akan selalu merasa kurang dan kurang karena memang dunia semakin berkembang, konsumerisme semakin merajalela, dan semuanya dipenuhi dengan kemewahan. Televisi juga turut memicu hal ini. Kita bisa lihat berbagai iklan dan sinetron glamor yang bisa ditonton siapa saja, baik di kota maupun di desa. Sehingga sangat mungkin, jika seseorang yang awalnya ’damai’ dalam kesederhanaan, menjadi resah karena tidak memiliki benda mewah. Dari sana, kita dapat bertanya, apakah benar, untuk menjadi bahagia harus memiliki benda-benda mewah? Ataukah malah sebaliknya? Menjadi penyebab ketidakpuasan. Penghasilan penduduk di negara maju tentu lebih baik dibandingkan dengan negara berkembang, tetapi apakah di sana tidak ada orang yang depresi? Tidak juga, bahkan krisis ekonomi di Indonesia tidak selamanya membuat kita melipat wajah. ”Dan, apakah kebahagiaan yang kedua itu?” Kebahagiaan jenis kedua adalah kebahagiaan batiniah. Kebahagiaan ini lebih luhur dari yang pertama. Dalam Dhammapada 290, Sang Buddha berkata, ”Apabila dengan melepas kebahagiaan yang lebih kecil, orang dapat memperoleh kebahagiaan yang lebih besar, maka hendaknya orang bijaksana melepaskan kebahagiaan yang kecil itu, guna memperoleh kebahagiaan yang lebih besar.” Sang Buddha pun memuji kebahagiaan batiniah ini dengan mengatakan sebagai kebahagiaan yang tidak bermata kail atau Nirāmisa. Sedangkan kebahagiaan yang pertama disebut sebagai Sāmisa atau kebahagiaan yang bermata kail. Kebahagiaan Sāmisa memang memikat di satu sisi, tetapi, di sisi lain, jika tidak hati-hati, dapat membawa penderitaan. Karena kebahagiaan tersebut akan berlalu dan tidak bertahan selamanya. Dalam Aṅguttara Nikāya, Sang Buddha berkata, ”Seperti halnya aliran sungai di gunung, yang datang dari jauh, mengalir dengan cepat, membawa banyak sampah bersamanya, tidak akan diam sesaat pun, sedetik pun, sekejap pun, dan akan terus bergerak, berputar dan mengalir maju; demikian pula, para brahmana, kehidupan manusia ini bagaikan aliran sungai di gunung. Kehidupan ini pendek ... karena tak seorang pun yang telah terlahir dapat lolos dari kematian.” Bayangkan suatu saat kita memenangi sebuah perlombaan besar yang memang kita impikan, apakah kita senang? Pasti, mungkin kita akan berteriak girang dan ingin semua orang tahu, tapi yakinlah itu tidak akan terus terjadi. Mungkin satu atau dua minggu kemudian, perasaan kita akan kembali seperti sedia kala. Masa euforia akhirnya berakhir juga. Nikmati tiap detiknya... Hampir setiap orang berlomba untuk menyiapkan masa depan sebaik-baiknya, bahkan di kota Jakarta ini matahari seringkali ’kalah cepat’, mungkin kita salah satu yang sering berlari sebelum matahari muncul dan kembali ke rumah saat matahari terlelap. ”Suatu saat nanti saya akan bahagia,” itulah yang ada di pikiran kita. Sadarkah bahwa kita seakan-akan tidak hidup di saat ini, tetapi berharap untuk hidup bahagia di masa depan. ”Tak sepatutnya mengenang sesuatu yang telah berlalu; tak sepatutnya berharap pada sesuatu yang akan datang. Sesuatu yang telah berlalu adalah hal yang sudah lampau. Sesuatu yang akan datang adalah hal yang belum tiba.” (Uparipaṇṇāsa, Majjhima Nikāya). Penutup Pernah ada sebuah kisah yang menceritakan seseorang yang selama hidupnya merasa akan bahagia jika memiliki A, dan setelah mendapatkannya, ia kembali akan merasa bahagia jika mendapatkan B, begitu seterusnya sampai akhirnya tertulis di batu nisannya, ”Telah meninggal dunia, seorang yang akan berbahagia . . . ” Uraian di atas adalah sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Sang Buddha bahwa ”Kepuasan adalah harta yang paling berharga.” (Dhammapada syair 204) Oleh: Bhikkhu Indadhīro (20 April 2008) |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar